IDEAonline-Pemerintah Kabupaten Katingan terus mengusahakan para petani dan pengrajin rotan mendapatkan harga yang sesuai untuk kerja keras mereka.
Hal ini disampaikan oleh Sakariyas, Bupati Katingan ketika rapat program pendampingan berasama WWF Indonesia dan IKEA.
Berbagai macam cara telah ditempuh oleh pemerintah Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
Misalnya dengan membuat sistem resi gudang, mendatangkan pekerja dari Cirebon sebagai pelatihan kerja dan sebagainya.
Namun masalah terbesar yang dihadapi Katingan adalah masalah tata niaga atau penjualan.
Selain bersama Bupati Katingan dan beberapa pejabat terkait, program ini juga melibatkan Dewan Kerajinan Nasional Daerah atau Dekranasda Kabupaten Katingan.
Daurwati sebagai Ketua Dekranasda Kabupaten Katingan menjelaskan bahwa rencana program ini adalah untuk memberikan suatu wadah bagi pengrajin rotan untuk menjual hasil karyanya.
“Kami membangun kerjasama dengan pihak lain untuk membantu pengembangan rotan dengan penanganan hulu dan hilir.
Deksranasda menyambut baik upaya dari pihak lain seperti WWF Indonesia dan lembagai non pemerintah lainnya yang menjadi mitra pemerintah” katanya.
Dalam mewujudkan program ini, Dekranasda bersama dengan pemerintah juga sudah melakukan berbagai program pembinaan.
Misalnya dengan melakukan pelatihan-pelatihan seperti pelatihan menjahit, menganyam, dan mendesain produk yang sesuai dengan perkembangan pasar.
“Ada pembinaannya, dilatih melalui sekolah dan dimagangkan.
Ada pelatihan-pelatihan, diambil dari kecamatan, daerah, kita bawa mereka ke Kasongan.
Kita tampung mereka dalam tempat penampungan di hotel.
Ada pengarahan dari ibu Bupatinya supaya mereka lebih mantap lagi” tambah Daurwati.
Terkait dengan proses pemasaran yang sulit, Agusiswanto, Kepala Bidang Industri Katingan, mengatakan bahwa pemerintah sudah melakukan berbagai cara.
Salah satunya adalah membuka pemasaran atau showroom di Buah Batu dan diadakan kemungkinan bulan depan.
“Untuk memasarkan barang-barang yang dibuat, kami tamping dari desa-desa.
Ada olahan rotan, kerupuk, amplang dan makanan atau kerajinan lainnya.”
Khusus untuk pengrajin rotan yang sudah melakukan program pendampingan dan selalu berada di kantor untuk melakukan pelatihan, ada 5 orang pengrajin.
Mereka menghasilkan tas rotan atau modifikasi dompet.
“Untuk sementara pesanan karena akan susah jika dipasarkan sendiri.
Jadi kalau ada pesanan kita baru buat, misalnya dalam satu bulan terdapat sekian set, itulah yang akan kami buat dan kami pasarkan.
Baca Juga : Mau Renovasi Dapur? Perhatikan 6 Tips Ini Agar Hasilnya Optimal
Karena bahan baku juga susah, kita harus ke Jogja dan Surabaya.
Bukan rotannya tapi kulit dan aksesoris buat dompet.
Karena di Katingan tidak memproduksi sendiri, supaya lebih modern” kata Daurwati.
Ketika disinggung alasan tidak menggunakan rotan saja, Daurwati dan Agusiswanto setuju bahwa mereka hanya mengikuti selera pasar.
Kalau ada pesanan yang ingin menggunakan bahan lain, ya itu yang akan pengrajin buat.(*)