Keindahan dan Keselarasan Candi Dieng

Jumat, 06 September 2013 | 04:00
Febrina Syaifullana (@vinna_mooo)

Keindahan dan Keselarasan Candi Dieng

Saat itu, sebenarnya hari belum begitu sore. Namun, sejak memasuki kawasan Candi Dieng rinai kabut sudah mulai turun berluruhan di kaki bukit. Di sepanjang jalan aspal kecil yang meliuk menanjak ke arah candi, di antara rimbun rerumputan yang berbaris-baris tak beraturan, bunga-bunga liar tumbuh sendiri-sendiri dan tersebar sedikit berjauhan, menjadi semacam perlambang bagi keindahan yang tak bisa goyah.

Sebuah telaga kecil di kejauhan tampak berkilauan memantulkan cahaya matahari yang tengah beringsut. Manakala memijakkan kaki di depan pintu gerbang kompleks Candi Dieng, yang berada persis pada ketinggian 2.100 meter dpl itu, tatapan kita perlahan menengok ke sekeliling. Tampaklah tumpukan hijau perkebunan warga, bukit-bukit ranum yang menggelombang. Tataran yang memperkaya nuansa sekitar candi.

Sejarah Candi

Bila menilik muasalnya, Candi Dieng dibangun pada sekitar abad ke-9 M. Prasasti batu yang ditemukan menyebutkan angka tahun 731 Saka (809 Masehi) dan 1210 Masehi, suatu fase sejarah yang menunjuk pada era agama Hindu. Ini terlihat dengan adanya peninggalan Arca Dewa Siwa, Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya yang notabene bercirikan Agama Hindu. Oleh karena itu, candi-candi di Dieng dipercaya sebagai tanda awal peradaban Hindu di Pulau Jawa pada masa Sanjaya pada abad ke-8.

Informasi di atas juga menunjukkan bahwa tempat suci agama Hindu ini digunakan kurang lebih 4 abad. Dalam kompleks candi Dieng sendiri terdapat tiga candi yang masing-masing mempunyai bentuk, karakter, dan fungsi yang berbeda satu sama lain, yaitu Candi Bima, Candi Arjuna, dan Candi Gatotkaca. Selain itu masih ada kompleks candi lain di tempat yang agak terpisah. Di antaranya adalah Candi Dwarawati, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi Srikandi, dan Candi Puntadewa.

Candi-candi itu umumnya diberi nama dari cerita atau tokoh-tokoh wayang. Namun begitu, tak ada kaitannya dengan fungsi bangunan. Sementara itu dari keterangan 12 prasasti yang ditemukan, belum dapat dipastikan siapa tokoh yang menggagas pembangunan candi tersebut. Nama Dieng (Diyeng) diperkirakan berasal dari kata "Dihyang" berarti tempat Hyang (Dewa). Mitos yang berkembang menyebutkan dataran tinggi Dieng merupakan suatu tempat yang memiliki kekuatan misterius sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur, sehingga tempat ini dianggap suci.

Dieng berasal dari kata Dihyang yang artinya tempat arwah para leluhur. Dari segi bentuk, Candi Dieng tampak mempunyai karakter yang agak berbeda dengan candi-candi lain di Indonesia. Candi Dieng memiliki arsitektur yang tak begitu rumit seperti Candi Borobudur atau Prambanan atau candi-candi umumnya di Pulau Jawa.

Keindahan, Keselarasan

Estetikus Erich Kahler mengatakan, hal yang indah di alam di antaranya menampakkan diri dalam bentuk keselarasan (harmony), barwarna-warni (colorful), tenang (calm), sederhana (idyllic), luas (vast), dan ketakterpahaman yang pelik (mysterious impenetrability). Lanskap, suasana, gerak, warna, aroma, nada, bunyi dan sunyi yang menguar di Candi Dieng, yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah, ini menyaran ke sana.

Lihat, misalnya, hamparan hijau kebun kentang dan padang rumput itu seperti permadani yang mengundang. Tonjolan bukit-bukit yang menggelombang ranum itu bagai buah dada yang sumeleh dan menantang. Kompleks candi yang terletak di basin--cekungan sisa kawah-- dan terpencar-pencar ini dikelilingi perbukitan yang membuat kita merasa berdiri di dasar sebuah mangkok. Padang rumput yang luas diselingi ladang kentang dan perkebunan penduduk, berpusat pada Candi Arjuna yang terletak di tengah-tengah. Semua ini menunjuk pada pusat perjalanan spiritual yang dilingkari bukit.

Walau sekilas terlihat acak, tampak ada pola yang berhubungan dengan kondisi tanah di basin Dieng ini. Saya membayangkan, para pembangun candi kala itu harus melakukan uji kelayakan tanah dulu. Maklum, mereka akan membuat sebuah bangunan yang dirancang berusia ratusan tahun. Caranya dengan membuat sebuah lobang, lalu diisi dengan air. Selang beberapa saat, dilihat bagaimana rembesan airnya. Semakin sempit rembesannya, berarti semakin padat tanah tersebut.

Menurut Gutomo, staf Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, Candi Dieng dibangun dengan sebelumnya diteliti seperti itu. Bayangkan, bagaimana orang pada waktu itu mencari lokasi yang sangat spesifik sesuai rangkaian ritual dan syarat-syaratnya. Belakangan, dari sebuah penelitian geologis, baru ditemukan, tanah tempat candi-candi itu berdiri adalah golongan tanah breksi vulkanik yang sangat keras, berbeda dengan jenis tanah di sekitarnya.

Tampaknya, prinsip keteraturan memang menjadi dasar sejak titik awal, yaitu pemilihan lokasi. Ketinggian dan ketersediaan air menjadi salah satu syarat utama pembangunan candi-candi penyembahan. Keberadaan candi-candi itu di tempat yang tinggi, didasarkan pada kepercayaan pra-Hindu yang menganggap roh-roh leluhur tinggal di gunung.

Sementara kedekatan dengan sumber air juga merupakan keharusan. Air adalah salah satu elemen terpenting dari sebuah upacara. Kebanyakan candi yang menghadap ke timur dan barat juga berkaitan dengan perjalanan hidup yang dimulai dari kelahiran dan kematian. Menurut arsitek Andy Siswanto, Candi Dieng itu sangat struktural. Ia lalu menunjuk pada sumbu-sumbunya yang berhubungan dengan sebuah tatanan keteraturan (kosmik).

Keteraturan dan keselarasan ini tampaknya menjadi dua kata kunci untuk memaparkan di mana letak keindahan candi Dieng. Dengan kata lain, kesederhanaan, keseimbangan, dan kesesuaian dengan alam sekitar yang melatarinya, ternyata tak hanya memperkokoh daya dukung lingkungan. Melainkan juga turut menambah nuansa estetis. Itu satu hal yang tak bisa dibantah. Toh sejarah telah menguji dan membuktikannya.

Bertandang ke Candi Dieng barangkali merupakan ziarah pada sebuah peradaban yang datang dari masa silam. Suatu masa yang seakan tak henti-hentinya menawarkan kepada kita sebentuk kearifan hidup. Misalnya, tentang bangunan yang selaras dengan alam. Seperti yang tampak dalam matra estetik candi Dieng.

Foto: confucian.me

Sumber: intisari-online.com

Tag :

Editor : Febrina Syaifullana (@vinna_mooo)