Kotanopan, Kecamatan yang Terlupakan

Rabu, 13 November 2013 | 00:00
Febrina Syaifullana (@vinna_mooo)

Kotanopan Kecamatan yang Terlupakan

Jika tidak mengikuti Jelajah Sepeda Kompas - PGN Sabang - Padang saya kemungkinan tidak mengenal Kotanopan. Sewaktu membaca rangkaian etape, terselip etape Padangsidimpuan - Kotanopan. Dalam bayangan saya ini sebuah kota. Namun ketika diberi tahu bahwa penginapan di Kotanopan sangat terbatas, saya jadi berpikir kembali.

Ketika akhirnya masuk ke penginapan yang dimaksud, saya tertegun. Sebuah bangunan megah khas Belanda dengan taman luas di depan tersaji di depan mata saya. Pasanggrahan Kotanopan, begitu yang terbaca di plang nama lokasi ini. Bangunan ini berada di kontur yang miring, dan "diangkat" lagi sehingga kelihatan megah. Sekitar sepuluh anak tangga harus dilalui sebelum sampai ke teras pesanggrahan. Nah, di teras inilah pada 16 Juni 1948 - dalam perjalanan dari Padang ke Parapat - Bung Karno berpidato dalam rapat raksasa di Kotanopan.

Memasuki ruang tamu Pesanggrahan, terdapat gambar Abdul Haris Nasution. Tokoh terkenal ini memang kelahiran Kotanopan, tepatnya Desa Hutapungkut. Meski berembel-embel Kota, namun sebenarnya Kotanopan hanyalah kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara, Indonesia.

Selain menjadi tempat rapat raksasa, di depan bangunan yang dulunya digunakan sebagai mess tentara Belanda ini terdapat tugu perintis kemerdekaan. Di keempat sisi terdapat prasasti berisi teks proklamasi, pembukaan UUD, keterangan soal tugu, dan beberapa pahlawan yang gugur mempertahankan kemerdekaan.

Kotanopan memiliki geografis yang berbukit-bukit. Hal ini sangat terasa ketika saya memasuki daerah ini yang menanjak dari Padangsidimpuan. Begitu juga ketika meninggalkan wilayah ini dan memasuki Provinsi Sumatra Barat, kontur naik turun mewarnai kayuhan pedal saya. Sepanjang perjalanan, selain dihibur oleh Sungai Batang Gadis dengan airnya yang jernih, lahan pertanian yang menghijau menegaskan akan kesuburan tanah di sini.

Sungai Batang Gadis ini dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk pengairan, pencarian batu kali, pasir, pendulangan emas, dan yang cukup unik, yaitu membuat "lubuk larangan".

Lubuk larangan adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk pengelolaan tangkapan ikan di Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut secara teratur menurut hukum yang dimusyawarahkan masyarakat sekitar, baik itu batas-batas lubuk larangannya, pelanggaran atas aturan serta masa pembukaan atau masa penangkapan ikannya untuk umum. Lubuk larangan ini dibuka secara periodik, biasanya pada masa-masa Idul Fitri atau Lebaran.

Lubuk larangan tersebut biasanya diberi nama menurut nama desa yang dilalui sungai tersebut. Misalnya: Lubuk Larangan Singengu, yaitu Lubuk Larangan yang terletak di Desa Singengu. Adapun lubuk larangan lain adalah: Lubuk Larangan Lumban Pasir, Lubuk Larangan Huta Baringin, Lubuk Larangan Tamiang, Lubuk Larangan Huta Pungkut, dan lain-lain.

Pertanian padi menjadi andalan daerah ini. Selain itu juga terdapat perkebunan karet dan cokelat juga cukup luas di daerah ini, khususnya di wilayah Kotanopan. Ada juga perkebunan kulit manis (kayu manis) dan tembakau di daerah Simandolam.

Melongok ke belakang, Kotanopan sudah menjadi basis perjuangan seperti dalamartikel berikut ini. Nah, jika dalam perjalanan melintasi Medan - Padang pp, sempatkanlah mampir di Kotanopan.

Foto: Intisari/Yds

Sumber: intisari-online.com

Tag :

Editor : Febrina Syaifullana (@vinna_mooo)