iDEAonline.co.id -Para pengembang besar sekaliber Lippo Group, Ciputra Group, Pakuwon Group, maupun Intiland Group, lebih memilih menggunakan jasa arsitek asing ketimbang lokal. Pasalnya, arsitek asing menawarkan sistem, profesionalitas, kecepatan, dan memahami perkembangan zaman.
Selain itu, kecenderungan pengembang besar pilih arsitek asing ketimbang lokal adalah dengan pertimbangan bahwa menggunakan jasa arsitek asing, terlebih yang sudah memilikibrandpopular, akan menambah kepercayaan diri (confidence) pengembang untuk meraup segmen pasar yang menjadi bidikannya.
Chief Marketing Officer Lippo Homes, Jopy Rusli, mengatakan hal tersebut, terkait daya saing dan kemampuan arsitek lokal dibanding asing, kepadaKompas.com, Rabu (26/3/2014).
"Kami lebih percaya diri menyerahkan proyek-proyek besar dengan kompleksitas tinggi, sepertimixed use developmentkepada arsitek asing. Mereka lebih memahami dan punya sistem yang mumpuni. Bendera asing juga memengaruhi pilihan konsumen atas produk properti yang kami pasarkan," ungkap Jopy.
Lippo Group, lanjutnya, biasa menggunakan jasa DP Architects asal Singapura untuk proyek-proyek skala besar mereka, baik di Jakarta, maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia dan mancanegara. Selain menjadi pelanggan DP Architects, Lippo juga kerap memanfaatkan jasa HOK Architects.
Demikian halnya dengan Intiland Development. Menurut Direktur PT Intiland Development Tbk., Sinarto Darmawan, mereka menggunakan jasa arsitek asing untuk proyek properti dengan tingkat kerumitan tinggi.
"Proyek yang sebelumnya asing dan belum pernah kami kerjakan, akan kami serahkan kepada arsitek asing. Contohnya untuk proyek rumah sakit, lapangan golf, perhotelan atau proyek lainnya dengan skala besar," ujar Sinarto.
Sementara Ciputra Group, memilih RTK untuk merealisasikan mimpi mereka membangun megaproyek Ciputra World 1 Jakarta di koridor Satrio International Tourism and Shopping Belt, Jakarta Selatan.
Pakuwon Group, selama ini memanfaatkan kemampuan AEDAS dalam menerjemahkan visi dan falsafah bisnisnya dalam bentuk properti multifungsi di Jakarta (Gandaria City, dan Kota Kasablanka).
"Namun, kami ingin karya sempurna. Untuk itu, tidak hanya asing, kami jugapakelokal seperti Airmas Asri. Sayang, arsitek lokal yang bagus tidak banyak. Itu-itu saja, pilihan jadi terbatas. Sudah begitu, kerjanya lambat.Outputyang dihasilkan kadang tidak sesuai dengan keinginan. Harus bolak-balik direvisi," tandas Direktur Pakuwon Group, A Stefanus Ridwan.
Pengembang BUMN cinta lokalSedangkan pengembang-pengembang menengah, dan juga BUMN, terbiasa menggunakan jasa arsitek lokal. Pertimbangan mereka antara lain, arsitek lokal lebih menguasai konteks keindonesiaan dengan budaya dan gaya hidup yang berbeda dibanding penguasaan asing.
PT Triyasa Propertindo sebagai pendatang baru di sektor properti, bertaruh mempercayakan proyek perdananya, Gran Rubina kepada arsitek lokal, yakni PDW Architects. "Pertimbangannya sederhana, karena mereka tidak kalah dengan asing," jelas Direktur Triyasa Propertindo, Budi Lesmana.
Hal ini diperkuat Sekretaris Perusahaan PT Adhi Karya (Persero) Tbk, M Aprindy. Ia mengatakan, untuk proyek-proyek yang dikembangkan anak usahanya, Adhi Persada Properti, arsitek lokal adalah pilihan utama.
"Mereka kuat dalam desain dengan identitas lokal dan mampu memadukannya dengan desain modern. Kami biasa menggunakan arsitek lokal yang masuk lima besar secara nasional," katanya.
Direktur Utama PT Hutama Karya Realtindo, Putut Ariwibowo, berpendapat senada. Menurutnya, arsitek lokal tidak kalah dengan asing. "Lagipula kami ingin mengadopsi identitas lokal, karena konsumen kami juga lokal. Merekaexpertdalam memahami keinginan konsumen lokal, dalam arti mampu mempertemukansizedandemand.Kami belum akan mengembangkan properti untuk orang asing. Selama ini, kami puas dengan hasil kerja arsitek lokal," cetus Putut.
Aboday adalah bendera domestik yang kerap berkolaborasi dengan Hutama Karya Realtindo. Mereka, kata Putut, diberikan apresiasi senilai antara Rp 3 miliar hingga Rp 4 miliar sesuai ukuran proyeknya. Jika proyek skala menengah atau kecil, jasa yang harus dibayar sebesar Rp 900 juta.
Sementara untuk proyek HK Realtindo di lokasi premium CBD dengan segmen kelas atas, Putut mempertimbangkan untuk memilih arsitek asing. Pasalnya, mereka dianggap lebih memahami bagaimana sebuah desain properti yang modern sekaligus memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan yang akhir-akhir ini menjadiconcernpara penyewa dan pembeli kalangan atas.
Cara berfikir harus berubahBaik Jopy, Sinarto, Stefanus, maupun Putut, sepakat, bahwa jika arsitek lokal ingin menjadi pilihan utama para pengembang (user), maka mereka harus mengubah cara berfikir, sistem kerja, profesionalitas, dan kecepatan menghasilkan karya dengan baik.
"Mereka harus memahami perubahan zaman, perubahan gaya hidup, dan juga perubahan perilaku manusianya. Ini menjadi kelemahan mendasar arsitek lokal. Bagaimana mau menjadi pilihan para pengembang, bila mereka hanya berkutat dalam cara berfikir yang sempit. Cara berfikir konvensional hanya akan menghasilkan porsi membuat skematik desain, detail desain, dengan bayaran hanya Rp 2 miliar, sementara asing justru memikirkan konsep dengan bayaran Rp 10 miliar," urai Dosen Arsitektur Institut Teknologi Bandung, Baskoro Tedjo.
Foto: Dok. MVRDV
Sumber: Kompas.com