iDEAonline - Peristiwa bom yang meluluhlantakkan bangunan ibadah dan kantor polisi di Surabaya, Jawa Timur membuat geram publik dan para pihak. Negeri kita pun kembali mendapat sorotan dari masyarakat dunia. Sayangnya, pandangan itu bersifat negatif.
Kami mencoba memahami bagaimana trauma para korban yang selamat saat berada di dalam lokasi atau lingkungan yang terdampak. Saat mencari tahu lebih jauh, kami mendapatkan salah satu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Arsitektur Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Namanya, Mustika Sari.
Mustika mengadakan penelitian dengan judul “’Komunitas Tergerbang’ Sebagai Manifestasi Ruang dari Ketakutan Masyarakat Kota”. Hasil penelitian Mustika menjadi materi yang diujikan dalam sidang skripsinya pada 2 Juli 2008.
Berikut petikannya:
Untuk dapat hidup dengan nyaman maka manusia perlu mengatasi ancaman-ancaman yang memicu rasa takut itu. Cara yang dilakukan manusia untuk mengatasi rasa takutnya secara spasial adalah dengan memberi jarak pada sumber ancaman dan mengadakan batas agar tidak terjadi interaksi antara dirinya dengan sumber itu.
Pengadaaan batas baik secara fisik maupun non fisik sebagai pemenuhan kebutuhan rasa aman dan antisipasi terhadap rasa takut ini kemudian mewujudkan sebuah komunitas yang terekslusifkan dari lingkungannya. Komunitas ini terpisah dari lingkungannya karena adanya batas yang menggerbangi baik berupa batas fisik yang menggerbangi ruang bertinggal maupun batas non fisik yang menggerbangi pemikirannya.
Keberadaan komunitas tergerbang Tujuan memberikan gambaran bagaimana reaksi terhadap ketakutan yang dirasakan masyarakat kota dimanifestasikan ke dalam ruang sehingga perasaan takut itu dapat teratasi.
Untuk mewakili rasa takut dari kelompok minoritas, Mustika memilih Gereja Katolik Santa Anna. Tempat ibadah yang ada di Jalan Duren Sawit, Jakarta Timur ini adalah salah satu gereja yang pernah diledakkan oleh bom yang diletakkan di dalam gereja pada Juli 2001.
Gereja Katolik ini pertama kali dibangun pada 1983 karena dirasa perlu melihat pertumbuhan umat Katolik di wilayah Klender, Duren Sawit dan sekitarnya yang melesat jauh dari jumlah awal 40 – 60 orang (tahun 1970) menjadi 2,425 (1977).
Gereja ini dibangun di tengah-tengah permukiman warehga yaitu Pondok Bambu Mas yang secara umum merupakan warga kelas menengah dan Komplek Kavling TNI AL. Warga pada keduanya dapat dikatakan sebagai warga kota yang terdidik dan berpenghasilan cukup.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, pihak pengurus gereja memutuskan untuk mengadakan renovasi besar-besaran pada keseluruhan bangunan gereja pada 2004.
Setelah kejadian itu hingga kini pihak gereja masih sering merasa was-was tiap ada orang asing yang berkeliaran di sekitar gereja dengan aktivitas mencurigakan.
Mustika sempat diperhatikan cukup lama oleh salah seorang penjaga saat sedang mengambil gambar tampak muka bangunan itu.
Hal ini disebabkan karena pada beberapa saat sebelum peristiwa pemboman itu, seorang jemaat yang akan memasuki aula untuk mengikuti misa sempat melihat seorang pria duduk di kursi dekat pintu masuk dengan membawa sebuah kantong plastik hitam yang kemudian berdasarkan penyelidikan pihak yang berwajib terbukti sebagai bahan bom yang dibawa masuk oleh sang pelaku.
Pada desain renovasinya, perancang membangun pagar kea rah jalan Laut Arafuru yang terdapat pintu masuk utama. Pagar ini memiliki tinggi kurang lebih 2,3 meter. Dengan keadaan pagar pintu masuk utama yang selalu tertutup apabila tidak terdapat kegiatan.
Akses masuk yang direncanakan pada rencana tapak sebenarnya terdapat empat buah, yaitu dua di bagian depan (Jalan Laut Arafuru) dan dua di bagian belajang (masuk dari jalan Teluk Mandar) namun sekarang aksesnya hanya ada dua, satu di bagian depan untuk umum dan satu di belakang untuk pengurus paroki. Akses jalan ini berupa jalan kecil yang tidak biasa dilewati umum.
Berdasarkan hasila percakapan ringan dengan penduduk sekitar, Mustika dapatkan informasi bahwa apabila akan diadakan sebuah kegiatan peribadatan besar, sering pihak gereja mendatangkan personil dari kepolisian untuk mengantisipasi agar peristiwa di tahun 2001 yang terjadi kembali.
Menurut pengamatan Mustika, masyarakat sekitar tidak merasa terganggu dengan keberadaan gereja ini, karena memang lokasinya tidak begitu dekat dengan daerah permukiman.
Hanya pada waktu tertentu di mana kegiatan peribadatan besar sedang dilaksanakan akses masuk menuju perumahan melalui Jalan Laut Arafuru mengalami kemacetan karena banyak mobil jemaat yang parker hingga ke tepi jalan.
Lingkungan berkegiatan peribadatan komunitas dengan jenis ketakutan pada ancaman kekerasan yang dihadapi kaum minoritas mengolah ruangnya dengan mengadakan batas sehingga sumber ancaman tidak dapat mendekati.
Kekhawatiran yang dihadapi komunitas kaum minoritas ini dimanifestasikan pada elemen pembatasnya yang mengindikasikan ketidakinginan untuk terlihat oleh kalangan yang bukan anggota komunitas misalnya dengan penggunaan pagar tinggi massif dengan satu akses saja.
Ketakutan masyarakat kota yang dirasakan mengancam kenyamanan hidup pada konteks huniannya memunculkan reaksi yang dimanifestasikannya pada ruang itu.