IDEAonline -Kebakaran hebat melanda Pasar Legi Solo, Jawa Tengah, Senin (29/10/2018).
Kebakaran terjadi sekitar pukul 16.45 WIB.
Banyaknya material yang mudah terbakar serta tiupan angin yang cukup kencang membuat petugas pemadam kebakaran kesulitan memadamkan api.
Akhirnya api baru bisa dipadamkan pada Selasa (30/10/2018) pukul 02:00 WIB.
Peristiwa kebakaran membuat ribuan kios dan los, baik di lantai atas maupun bawah pasar hangus terbakar.
Baca Juga : 5 Cara Mencegah Kebakaran di Area Dapur, Peletakan Kompor Tak Sembarang
Pasar Legi sendiri sebenarnya merupakan bangunan yang bersejerah.
Pasar legi merupakan pasar tradisional yang juga merupakan pasar induk.
Pasar Legi berlokasi di Jalan Sutan Syahrir di Kelurahan Setabelan, Kecamatan Banjarsari.
Pasar ini berdiri diatas luas tanah 16.640 meter persegi dan konstruksi bangunan pasar bertingkat seluas ±1.750 meter persegi.
Baca Juga : Mall CBD Ciledug Kebakaran, Asap Hitam Mengepul di Udara, Ini Penyebabnya!
Menurut Istiajabatul Aliyah dalam laman resmi PWK FT UNS, komoditas dagangan yang diperdagangkan di Pasar Legi berupa barang konsumsi dan barang produksi.
Kebanyakan berupa hasil bumi seperti sayur mayur, ketela, bawang, lombok, ikan, daging, selain itu juga ada gerabah, sembako, dan pakaian.
Keberadaan Pasar Legi tidak dapat dipisahkan dengan Pura Mangkunegaran yang berada di sebelah selatan pasar tersebut.
Baca Juga : Merasa Terganggu, Faktanya Bukan Rumah Cut Mini yang Alami Kebakaran
Dilansir dari laman resmi Dinas Perdagangan Kota Surakarta, pasar ini merupakan bagian dari tata ruang pemerintahan Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa.
Berdasarkan Perjanjian Salatiga 1757, wilayah kraton kasunanan Surakarta dibagi menjadi dua yakni sebagian milik Pangeran Sambernyawa atau RM. Said dan sebagian tetap milik Kasunanan Surakarta yang kala itu dipegang oleh Paku Buwana III.
Sebagai penerus dinasti Mataram Islam, Pangeran Sambernyawa tetap mempertahankan konsep kosmopologi Jawa saat membangun Pura Mangkunegaran dengan mengadopsi Catur Gatra Tunggal.
Catur Gatra Tunggal yaitu empat elemen dalam satu unit.
Pusat kota ditandai dengan sebuah lapangan luas berbentuk segi empat yang disebut alun-alun.
Di satu sisi alun-alun ada kraton (istana), di sisi-sisi lain ada masjid, pasar, dan penjara. Pada kota yang lebih kecil, kehadiran kraton sebagai tempat kedudukan raja diganti dengan kabupaten, atau kawedanan – sesuai dengan tingkatan kotanya.
Baca Juga : 4 Tahun Pemerintahan Jokowi, Intip Tampilan Rumahnya yang Sederhana di Solo
Penggunaan konsep Catur Gatra Tunggal juga digunakanDanang Sutawijaya untuk pertama kalinya membangun Keraton Mataram Islam dan juga saat Paku Buwana II memindahkan keratonnya dari Kartasura ke Surakarta.
Pasar Legi merupakan representasi ruang ekonomi yang wajib diadakan sebagaimana dibangunnya masjid, alun-alun dan pura sebagai representasi kekuasaan.
Secara fisik, bangunan Pasar Legi yang terlacak adalah bangunan dalam bentuk los sederhana yang dipertahankan hingga pada tahun 1930-an.
Baca Juga : Miris! Air PDAM Dekat Rumah Jokowi di Solo Berwarna Merah, Ini Sebabnya
Baru pada era Mangkunegara VII Pasar Legi dibangun lebih “modern” lagi untuk menampung para pedagang yang pada umumnya berasal dari sekitar kota Solo.
Nama Pasar Legi merujuk pada salah satu nama perhitungan hari Jawa yang berjumlah lima yaitu Wage, Kliwon, Legi, Pahing dan Pon.
Pada masa lalu, pasar ini memang hanya ramai pada hari pasaran Legi.
Baca Juga : Rencana Proses Revitalisasi, Stadion Manahan Solo Akan Disulap Seperti GBK Mini
Pada perkembangannya, Pasar Legi buka setiap hari bahkan berlangsung selama 24 jam, namun hasil bumi tetap menjadi dagangan utamanya.Sebagai pasar utama hasil bumi, tidak jarang harga-harga sembako di pasar yang lain di kota Solo dan sekitarnya merujuk pada harga yang berlaku di Pasar Legi.
Tidak hanya itu, Pasar Legi juga menjadi tujuan pedagang besar dari berbagai daerah di Jawa Tengah untuk memasarkan atau mendapatkan barang dagangan yang kemudian akan dijual lagi di daerah lainnya. (*)