Taman yang didesain untuk terapi hortikultur tersebut merupakan bentuk praktek biophilia.
Istilah hortikultur sebagai bentuk terapi merupakan tindakan dan proses membudidayakan tanaman yang dimulai dari memilih benih/bibit, menyemai, menanam, memelihara (menyiram, memupuk, menyiang), hingga memanen, pengolahan pascapanen, dan mengonsumsi.
Dalam konteks terapi, tindakan dan proses tersebut merupakan bentuk kedekatan dan ketergantungan manusia pada alam yang mencakup praktek terapi fisik dan terapi peningkatan kualitas hidup.
Terapi fisik berkaitan dengan aktivitas pemanenan (harvesting), mengolah dan mengkonsumsi produk hortikultur.
Sedangkan terapi peningkatan kualitas hidup, berkaitan dengan aktivitas yang menstimuli aspek emosional (psiko-fisiologis) dan psikologis.
Terapi fisik meliputi kegiatan memanen dan mengonsumsi buah dan sayuran sebagai sumber karbohidrat, vitamin, dan anti-oksidan; memanen bunga, memanen tanaman atau bagiannya sebagai obat/herbal; dan ”memanen” oksigen serta udara bersih melalui penyerapan CO2 dan polutan udara.
Baca Juga: 7 Kriteria Anak Autis dan Terapi Warna yang Tepat Menurut Psikolog
Terapi emosional berkaitan dengan kegiatan stimulasi sensorik.
Terapi ini menstimuasi organ sensorik melalui mekanisme pengenalan informasi dari luar tubuh yang masuk melalui panca indra, mengevaluasi di dalam otak, dan merespon dalam bentuk tindakan tertentu.
Partisipasi sensorik yang dilakukan dalam terapi ini meliputi kegiatan mengamati keindahan melalui indra penglihatan/sight, mencium aroma melalui indra pencium/smell, meraba dan menyentuh melalui indera tactile/touch, mendengar kehadiran satwa di taman melalui indra auditory (hearing), dan mencicip dan merasa melalui indera taste dari daun, bunga, buah, dan tanaman beserta bagiannya.
Stimulasi aspek psiko-fisiologis melalui panca indra ini membangkitkan suasana dan pola keteraturan alami yang akan berpengaruh dalam menurunkan tingkat stres dan kegelisahan.