Follow Us

Gawat! Faktor Risiko Ini Tingkatkan Potensi Kasus Covid-19 di Indonesia Bisa seperti di India

Kontributor 01 - Kamis, 13 Mei 2021 | 20:33
Kremasi masal korban tewas akibat terinfeksi virus corona (COVID-19), terlihat di sebuah lapangan krematorium di New Delhi, India, Kamis (22/4/2021). Gambar diambil menggunakan drone.
ANTARA FOTO/REUTERS/DANISH SIDDIQUI

Kremasi masal korban tewas akibat terinfeksi virus corona (COVID-19), terlihat di sebuah lapangan krematorium di New Delhi, India, Kamis (22/4/2021). Gambar diambil menggunakan drone.

IDEAOnline-Tsunami kasus Covid-19 di India menjadi perhatian seluruh dunia.

Epidemiolog mengingatkan, jika tidak bertindak dengan baik, apa yang terjadi di India juga mungkin akan terjadi di Indonesia.

Baca Juga: Simpan Penyesalan Usai Miliki Rumah Mewah Senilai Rp 28M, Dewi Perssik: ‘Lebih Baik Kehilangan Uang dari pada Kehilangan Papi’

Baca Juga: Ditemukan di 10 Negara Lain, Varian B.1.617 di India Punya Semua Ciri Khas Virus yang Sangat Berbahaya

Saat ini, pandemi Covid-19 menjadi sangat mengerikan di India. "Apa yang terjadi di India, Malaysia, dan beberapa negara lain juga bisa terjadi di Indonesia kalau kita tidak mau belajar dari pengalaman buruk negara lain itu," kata Dr Windhu Purnomo, Pakar Epidemiologi (Epidemiolog) Universitas Airlangga, Selasa (4/5/2021).

Mengapa demikian dan apa faktor risiko yang dapat memperbesar kemungkinan terburuk dari akibat pandemi Covid-19 di Indonesia?

Berikut beberapa faktor risiko yang meningkatkan potensi berbahaya dan kondisi yang mengancam kejadian kasus pandemi Covid-19 di Indonesia bisa seperti di India dan negara lainnya.

Sejumlah warga memadati Blok B Pusat Grosir Pasar Tanah Abang untuk berbelanja pakaian di Jakarta Pusat, Minggu (2/5/2021).
Antara/Foto Aditya Pradana Putra

Sejumlah warga memadati Blok B Pusat Grosir Pasar Tanah Abang untuk berbelanja pakaian di Jakarta Pusat, Minggu (2/5/2021).

1. Angka kasus baru stagnan (tidak menurun)

Windhu mengatakan, kemungkinan terburuk ini bisa terjadi melihat saat ini kondisi kasus baru Covid-19 masih stagnan dan tidak terjadi penurunan dalam beberapa waktu terakhir.

"Situasi Indonesia saat ini ada tanda-tanda tidak bagus, karena sudah sekitar satu bulan ini mengalami stagnan," ujarnya.

Baca Juga: Simpan Penyesalan Usai Miliki Rumah Mewah Senilai Rp 28M, Dewi Perssik: ‘Lebih Baik Kehilangan Uang dari pada Kehilangan Papi’

Baca Juga: Mutasi Virus Pemicu Tsunami Covid-19 di India Tak Terdeteksi PCR? Ini kata Ahli

Hal ini dianggap mengkhawatirkan dan cenderung berpotensi buruk karena sebelumnya ada penurunan kasus setelah mencapai puncak gelombang pertama pada akhir Januari yang per hari bahkan mencapai 14.000 kasus Covid-19 baru.

Windu menjelaskan, sudah sekitar sebulan kasus stagnan atau flat dan tidak turun lagi, bergerak fluktuatif ringan antara 4.000-6.000 kasus per hari dengan kecenderungan akhir-akhir ini meningkat.

"Pola yang stagan seperti ini kalau kita belajar dari pola yang terjadi di banyak negara, juga yang pernah terjadi di beberapa provinsi seperti Jawa Timur, harus diwaspadai karena dikhawatirkan akan bisa kembali terjadi peningkatan tajam," jelasnya.

Ilustrasi pekerja migran.
Tribunnews.com

Ilustrasi pekerja migran.

2. Kepulangan pekerja migran

Faktor risiko kedua yang dapat mengancam perburukan kasus di Indonesia adalah kepulangan atau mudiknya para pekerja migran Indonesia (PMI) ke Tanah Air.

Baca Juga: Simpan Penyesalan Usai Miliki Rumah Mewah Senilai Rp 28M, Dewi Perssik: ‘Lebih Baik Kehilangan Uang dari pada Kehilangan Papi’

Baca Juga: Memilih Warna Hijau untuk Rumah? Ini 3 Intensitas Hijau dan Perannya

Menurut Windhu, para pekerja migran yang jumlahnya ribuan per hari lewat beberapa bandara internasional, padahal kedatangan mereka tidak dibarengi dengan karantina yang cukup.

"Kedatangan para PMI itu jelas sangat berisiko tinggi untuk masuknya virus dengan varian dan mutan baru yang merupakan VOC (variant of concern) yang ada di beberapa negara," ucap dia.

Seharusnya, tegas dia, semua yang masuk ke Indonesia, siapa pun itu, baik WNA maupun termasuk PMI, dikarantina secara ketat di lokasi-lokasi yang ditentukan oleh pemerintah.

Karantina minimum dilakukan selama 14 hari tanpa terkecuali, sekalipun hasil tes PCR mereka negatif.

Bagi pejalan internasional, karantina seharusnya dibiayai secara mandiri oleh pejalan internasional tersebut, kecuali bila pemerintah memang mau memberikan subsidi.

"Semua pendatang ini harus dites PCR, bila positif harus dilanjutkan dengan genomic sequencing, dan dilakukan contact tracing (penyelidikan epidemiologi) yang masif," tegas Windhu memperingatkan potensi pandemi Covid-19 di Indonesia yang bisa seperti India. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Epidemiolog: Pandemi Covid-19 Indonesia Bisa seperti India jika...

#Berbagiidea #Berbagicerita #Bisadarirumah #Gridnetwork #Rumahtropis

(*)

Source : kompas

Editor : Maulina Kadiranti

Latest