Follow Us

5 Penyebab Terjadinya Mubazir Pangan di Indonesia, Yuk Cegah!

Johanna Erly Widyartanti - Kamis, 21 Oktober 2021 | 12:54
Ilustrasi-Limbah makanan.

Ilustrasi-Limbah makanan.

IDEAOnline-Baru mendengar istilah ‘Mubazir Pangan’ IDEA Lovers? Ini adalah istilah mudah yang digunakan untuk membicarakan soal masalah pangan yang tercecer atau terbuang.

Istilah ini diperkenalkan oleh Kementerian PPN/Bappenas di acara “Morning Chat with Media: Indonesia Mubazir Pangan, Kok Bisa?” yang diselenggarakan Selasa (12/10) yang membahas Food Loss and Waste (FLW) di Indonesia.

Idea Lovers, ketika bicara soal pangan yang terbuang dengan berbagai alasan, mungkin kamu sering mendengar istilah food loss dan food waste.

Keduanya sama-sama bisa mendeskripsikan pangan yang terbuang begitu saja dan akhirnya jadi limbah.

Baca Juga: Ingin Barang Bekas Kamu Tak Jadi Limbah? Donasikan ke 5 Tempat Ini!

Dan nyatanya, keduanya istilah tersebut mendeskripsikan dua hal yang berbeda.

Pada dasarnya food loss adalah kehilangan pangan yang utamanya terjadi karena proses produksi.

Proses produksi tersebut meliputi tahap panen, pasca-panen, dan distribusi.

Biasanya penyebab terjadinya kehilangan tersebut adalah kurangnya sarana dan pra-sarana produksi seperti kurangnya teknologi.

Teknologi yang dimaksud meliputi teknologi transportasi, rantai dingin (cold chain), dan lainnya yang bisa menyebabkan pangan jadi mudah rusak ataupun susut.

Baca Juga: Jangan Dibuang, Kusen dan Jendela Bekas bisa Diubah Jadi 3 Barang Ini

Sementara food waste merupakan pangan yang terbuang atau limbah pangan. Biasanya food waste terjadi di tingkat retail dan konsumsi.

Food waste ini sering berhubungan dengan kebiasan dan perilaku konsumen dalam menilai dan menghargai pangan.

Kementerian PPN/Bappenas memperkirakan timbulan FLW pada 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun, setara 115-184 kg/kapita/tahun.

Kerugian ekonomi akibat FLW selama 20 tahun terakhir, setara 4-5 persen PDB Indonesia, yaitu Rp 213-551 triliun per tahun, mencakup kehilangan kandungan energi setara dengan porsi makanan 61-125 juta orang per tahun. Sementara dari sisi emisi, FLW Indonesia mengeluarkan emisi 1.702,9 Megaton CO2-Ekuivalen selama 20 tahun.

Kajian Bappenas tersebut menjadi “Panduan pengelolaan sampah sudah banyak disusun kementerian/lembaga, namun tantangannya adalah masyarakat belum banyak tersosialisasikan terkait panduan ini sehingga peran media dan pegiat lingkungan perlu didorong, membantu menyampaikan informasi pengelolaan mubazir pangan di Indonesia dengan bahasa yang mudah dipahami,” ungkap Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam.

Baca Juga: Pakai Timbangan Pintar, Perusahaan Ini Sukses Kurangi 31% Limbah Makanan dalam Setahun

Ilustrasi membuang sisa makanan dan jadi limbah.
Kompas.com

Ilustrasi membuang sisa makanan dan jadi limbah.

Penyebab Terjadinya FLW (Food Loss dan Food Waste)

Annisa Ratna Putri (Team Leader Kajian Food Loss & Waste, Waste4Change), menyebutkan ada 5 penyebab besar terjadinya FLW, sebagai berikut.

1. Pertama, di bagian food loss, kurangnya food handling practice.

Kurang baik memperlakukan makanannya yaitu ketika makanan didistribusikan atau kurang baik ruang penyimpanannya.

Biasanya penyebab terjadinya kehilangan tersebut adalah kurangnya sarana dan pra-sarana produksi seperti kurangnya teknologi.

Teknologi yang dimaksud meliputi teknologi transportasi, rantai dingin (cold chain), dan lainnya yang bisa menyebabkan pangan jadi mudah rusak ataupun susut.

2. Kurangnya edukasi soal penyimpanan yang benar ke pekerja lapangan

Pekerja lapangan kurang paham sehingga cara nyimpan salah, perlakuan kurang baik terhadap makanan.

3. Preferensi konsumen yang menilai makanan hanya berdasar aspek sensori.

Berhubungan dengan kebiasan dan perilaku masyarakat (sebagai konsumen) dalam menilai dan menghargai pangan.

Konsumen seringkali menilai pangan hanya berdasarkan aspek sensori saja.

Baca Juga: Limbah Makanan yang Jadi Masalah, Apa Beda Food Loss dan Food Waste?

Hanya mau makan atau membeli makanan yang terlihat bagus, seperti warna dan bentuknya. Sehingga jika ada produk yang bentuknya tidak sesuai dengan keinginan atau ekspektasinya seringkali produk tersebut disisihkan dan akhirnya terbuang.

Masyarakat juga tidak mau membeli makanan yang bentuknya berbeda dari yang biasa dia beli, padahal sebenarnya secara nutrisi sama saja. Akhirnya makanan ini engga kejual dan akhirnya kebuang karena konsumen tidak suka atau tidak mau beli.

4. Di rumah tangga, kurang memahami bagaimana seharusnya menyimpan makanan.

Seperti diketahui, tidak semua makanan itu bakal tahan lama kalau dimasukkan ke kulkas. Beberapa makanan tertentu justru makin cepat busuk atau berjamur jika di dalam kulkas.

5. Kelebihan porsi dan perilaku konsumen.

Adanya pemikiran atau bilai yang dianut seperti, “Lebih baik lebih banyak lah daripada kurang sehingga ketika ada acara atau makan bersama yang penting pesan dulu, urusan nanti kalau bersisa.”

Cara pikir ini harus dubah. Jika memang tidak sanggup dihabiskan, ya sebaiknya tidak dipesan sebanyak itu. Kalau memang bersisa sebaiknya selalu dibawa pulang untuk dikonsumsi kembali.

Baca Juga: Lindungi Keluarga dan Orang Lain, Ini Panduan Membuang Sampah Infeksius bagi Yang Isoman di Rumah

#Berbagiidea #Berbagicerita #Bisadarirumah #Gridnetwork #Rumahtropis

(*)

Editor : Johanna Erly Widyartanti

Latest