Sudah jumlahnya banyak, penataannya juga terkesan semrawut, tidak memperhitungkan estetika dan kesatuan dengan lansekap sekitarnya. Tak heran kalau Gubernur DKI, Joko Widodo, kesal melihat papan iklan di Jakarta. Dalam pengamatannya, papan iklan itu sudah seperti hutan belantara, sehingga perlu ditertibkan.
Faktanya, pendapatan dari iklan memang menggiurkan. Data dari Dinas Pelayanan Pajak Daerah DKI Jakarta menunjukkan, pendapatan tahun lalu Rp460 miliar.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar itu bisa jadi yang membuat pemerintah kota berpikir dua kali untuk membela ketampanan kotanya tanpa serakan iklan. Jika iklan dibatasi atau bahkan dilarang, tentu PAD-nya juga akan berkurang.
Hubungan pemerintah dengan perusahaan yang notabene adalah pemilik modal besar memang cukup mesra, termasuk dalam hal pemasangan iklan dan pembayaran pajak iklan. Namun jika kemesraan ini kebangetan, tentu perlu diperingatkan.
Di sinilah peran masyarakat pengontrol. Di dunia periklanan Indonesia, banyak orang yang bergerak untuk membela dan mengontrol serakan media iklan di luar ruang.
Menurut dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Sumbo Tinarbuko, iklan luar ruang harus ditata, karena semua punya hak. "Pengiklan, biro iklan, pemasang iklan punya hak untuk hidup dari iklan tersebut. Masyarakat juga berhak hidup di lingkungan yang tidak dirusak karena iklan," kata Sumbo.
Sumbo mendefinisikan sampah visual sebagai iklan luar ruang yang dipasang tidak sesuai dengan penempatannya. Tak heran jika banyak orang termasuk Sumbo melakukan gerakan memangkas rimbunnya iklan luar ruang tersebut. Efek yang ditimbulkan ternyata cukup serius. Pegiat anti polusi visual semacam itu sepakat bahwa dampak hutan belantara iklan di luar ruang lebih menyerang mental dibandingkan secara fisik, tidak seperti jenis polusi yang lain.
Foto: Adi Nugroho
Sumber: intisari-online.com