Follow Us

Surabaya Di Atas Kampung-kampung (PART-1)

Devi F. Yuliwardhani - Selasa, 25 Maret 2014 | 05:00
Surabaya Di Atas Kampung kampung PART 1
Devi F. Yuliwardhani

Surabaya Di Atas Kampung kampung PART 1

iDEAonline.co.id - Melihat rencana tata ruang wilayah Surabaya tahun 2012 yang disusun Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, kawasan permukiman merupakan wilayah paling luas dibandingkan kawasan perkantoran, industri, atau perdagangan.

Di luar itu, Pemkot mengagendakan pengembangan kawasan permukiman sebagai salah satu fokus rencana struktur ruang wilayah Surabaya. Tidak tanggung-tanggung, dari 12 unit, sebelas unit menjadikan kawasan permukiman sebagai salah satu fokus pengembangan.

Di Surabaya, sekitar 70% kebutuhan untuk permukiman pada tahun 1988 berasal dari kampung-kampung - meskipun kampung hanya meliputi 7% dari luasan terbangun kota Surabaya. Kampung tidak hanya persoalan perumahan, tapi juga perwujudan arsitektur, ide, kreativitas, dan kemampuan masyarakat. Di kota yang diperkirakan populasinya mencapai 3.974.275 pada tahun 2029 ini, kampung sudah menjadi bagian erat dari sejarah.

Sejak Sri Susuhunan Pakubuwana II - raja terakhir Kasunanan Kartasura (kelanjutan dari Kesultanan Mataram) - menyerahkan penguasaan Surabaya kepada VOC pada 1743, Surabaya resmi berada di bawah kedaulatan kolonial Belanda. Pemerintahan pun berada di tangan Belanda.

Di zaman kolonial tersebut, Belanda membagi-bagi masyarakat dalam kampung-kampung berdasarkan etnis. Sampai akhirnya kita mengenal ada Kampung Pecinan, Kampung Arab, Kampung Bumiputra (inlander atau orang-orang Jawa/Melayu), serta Kampung Eropa.

Kampung-kampung etnis ini muncul karena peraturan Wijkenstensel yang berisi setiap etnis harus menempati kampung etnisnya masing-masing. Juga, peraturan Passenstensel yang menyatakan bahwa seseorang harus menunjukkan surat jalan jika hendak keluar dari lingkungan. Kedua peraturan ini menyebabkan akses keluar-masuk di kawasan Kampung Arab, Pecinan, atau pribumi menjadi sulit.

Andri Ariyanto, sosiolog, menyatakan, pembagian kampung berdasarkan etnis ini juga terjadi bukan karena etnis-etnis tersebut mengeksklusifkan diri atau tidak mau berbaur. Namun, ini adalah upaya Belanda untuk mengontrol populasi dan kriminalitas di Surabaya dan cara Belanda melakukan pengawasan.

"Kalau misalnya ada kerusuhan atau pemberontakan, intel Belanda mudah mencari tersangka. Cirinya bagaimana? Apakah itu pakai gamis, cheong-sam, atau sarung, mereka tahu harus cari orang itu ke mana," kata Andri.

Seiring waktu, kampung-kampung ini mengalami perkembangan, baik itu positif ataupun negatif. Ada kampung etnis yang mengalami perluasan, tetapi ada pula yang hanya meninggalkan bangunan fisiknya sementara manusianya tidak tersisa. (Bersambung)

Foto: mpkd.ugm.ac.id/ Kota Surabaya Menuju Smart City - Dwita Widyaningsih

Sumber: intisari-online.com

Editor : Devi F. Yuliwardhani

Latest