Banyak Tanda Kerusakan Alam, Inilah Relasi Manusia dengan Lingkungan yang Harus Diperbaiki

Selasa, 15 September 2020 | 13:30
Dok. Sharp Indonesia

Ilustrasi udara bersih anti polutan dibutuhkan bagi kesehatan.

IDEAOnline-Pandemi menjadi salah satu efek eksploitasi terhadap alam yang berkepanjangan.

Sudah cukup lama para ahli memperingatkan hal ini.

Terhitung sejak sejak akhir abad kesembilan belas, sesungguhnya manusia telah menyadari bahwa perubahan iklim memengaruhi munculnya penyakit pandemi, bahkan sebelum agen infeksinya ditemukan (McMichael, et all:2003).

Sebenarnya, banyak tanda-tanda kerusakan alam oleh manusia yang mudah dikenali.

Mulai dari intensitas banjir yang meningkat, alih fungsi hutan menjadi pemukiman atau industri, perkebunan monokultur, hingga kekeringan air yang menyebabkan manusia bermigrasi ke tempat lain.

Eksploitasi alam pun, tidak hanya terkait dengan vegetasi tumbuhan saja.

Binatang pun menjadi bagian dari alam yang ikut ditindas dari habitat aslinya.

Binatang liar, yang tanpa diketahui masyarakat awam seringkali membawa patogen, kini semakin terekspos oleh manusia.

Banyak diketahui, binatang-binatang liar yang langka, yang idealnya dikembalikan ke tempat aslinya, malah dipelihara, bahkan diolah menjadi makanan.

Semua itu dilakukan oleh makhluk hidup yang tidak lain adalah kita, manusia.

Baca Juga: Siapa Sangka Perempuan Lebih Terdampak Perubahan Iklim, Ini Alasannya!

kompas.com
shutterstock

Ilustrasi perubahan iklim.

Perubahan iklim Di Indonesia, isu mengenai perubahan iklim (climate change) mungkin tidak seksi.

Media mainstream lebih tertarik mengulas seputar konflik sosial populer.

Padahal, exposure informasi mengenai dampak perubahan iklim sangatlah penting.

Bagaimana tidak?

Dampak perubahan iklim menyangkut hidup kita di masa depan.

Melibatkan hajat hidup generasi mendatang.

Peristiwa cuaca ekstrem dapat membantu menciptakan peluang lebih besar untuk munculnya wabah penyakit (Haines, et all. 2000).

Eksploitasi terhadap alam adalah dosa besar yang sayangnya tidak disadari oleh sebagian besar umat manusia.

Sifat alam yang memberi, sama seperti kasih seorang Ibu yang “hanya memberi, tak harap kembali”.

Barangkali itu sebabnya alam mendapatkan terminologi mother nature, atau mother earth.

Karena bak seorang Ibu, alam tidak meminta lebih dari manusia yang telah diberikan sumber daya dengan cuma-cuma.

Layaknya kebanyakan Ibu yang ingin anaknya tumbuh menjadi manusia yang bermanfaat, alam mungkin hanya menginginkan manusia tumbuh dengan menjaga keseimbangan antar sesama makhluk hidup.

Tidak sulit menemukan penelitian ilmiah yang memaparkan bahwa pemanasan iklim jangka panjang bisa mendukung ekspansi geografis dalam bentuk penyakit menular.

Namun agaknya, sulit meyakinkan masyarakat akan hal ini.

Di Amerika, hanya 59 persen masyarakatnya yang percaya bahwa perubahan iklim adalah ancaman nyata (Pew Research:2018).

Baca Juga: Capai Netralitas Karbon sebagai Antisipasi Krisis Iklim, Inilah Beberapa Upaya yang Telah Dilakukan Signify

Dok. Mowilex

Ilustrasi-Dampak perubahan iklim.

Sebagai negara maju, Amerika memang dirunding krisis identitas.

Presidennya sendiri, Donald Trump saja juga terang-terangan tidak percaya terhadap ancaman perubahan iklim.

Trump menyebutnya sebagai hoaks.

Lantas Indonesia sendiri, ada 56 persen masyarakatnya yang percaya bahwa climate change adalah ancaman serius untuk kehidupan umat manusia.

Angka yang cukup besar untuk sebuah negara berkembang dengan paparan yang kurang terhadap pendidikan lingkunan.

Namun angka tersebut menjadi tidak berarti bila kita mengingat Indonesia adalah salah satu negara dengan sumber keanekaragaman hayati terbesar di dunia.

Keanekaragaman hayati mengacu pada semua jenis tumbuhan, hewan dan jasad renik (mikroorganisme) yang ada di bumi.

Kondisi panas yang dipicu oleh perubahan iklim secara terus-menerus akan mengantarkan pada kepunahan spesies hewan dan tumbuhan yang hidup.

Penetrasi media digital

Di sisi lain, penetrasi media digital membawa tantangan lain, yaitu mengindahkan ilmu pengetahuan.

Di berbagai media sosial, baik di Indonesia atau luar negeri, masyarakat luas menemukan kepuasan baru.

Yaitu dengan lebih mempercayai public figure dengan ocehan sorenya yang berkelakar tanpa basis ilmu pengetahuan yang memadai.

Dengan jumlah pengikut di media sosial yang masif, sebenarnya para figure bisa menyadari posisi mereka yang strategis untuk melakukan kampanye peduli terhadap perubahan iklim.

Meski sayangnya, dari ratusan influencer yang banyak didengar dan percaya itu, mungkin hanya hitungan jari yang peduli dan membagikan informasi mengenai ini.

Peneliti University of Wisconsin-Madison Prof Song Jin, dalam tulisannya di jurnal American Chemical Society, mengajak masyarakat untuk kembali ke jalur yang benar, yaitu dengan lebih mempertimbangkan hasil penelitian daripada asumsi-asumsi tanpa dasar yang beredar luas.

Sains dan fakta adalah penting.

Untuk Covid-19 dan perubahan iklim, mengabaikan bukti ilmiah yang berkembang dan berpura-pura bahwa seseorang bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat, tidak akan membantu kita dan tidak dapat menyelamatkan kita dari konsekuensinya.

Semua fakta akan datang dan membuktikan sendiri, tidak peduli apa yang kita yakini. Ini hanya masalah waktu: beberapa minggu dalam kasus Covid-19, atau mungkin beberapa dekade dalam kasus perubahan iklim.

Sekarang adalah waktu di mana fakta dan sains yang harus diprioritaskan, karena kesehatan kita dan kesejahteraan manusia bergantung pada fakta dan sains.

Membuat keputusan rasional berdasarkan pada sains dan fakta adalah senjata terbaik kita melawan musuh kita bersama (Song Jin: 2020) Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pandemi dan Relasi Manusia dengan Lingkungan yang Harus Diperbaiki

#berbagiIDEA

Editor : Maulina Kadiranti

Sumber : kompas