Pandemi Belum Berhenti, Begini Cara Kerja Antibodi terhadap Covid-19

Sabtu, 19 Desember 2020 | 16:30
Kompas.com

Kelompok penyandang penyakit autoimun dianggap termasuk yang berisiko tinggi terpapar virus corona karena sebagian besar mereka meminum imunosupresan atau obat yang menekan dan menurunkan sistem kekebalan tubuh.

IDEAOnline-Penyebaran virus corona secara global masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Data pemerintah pada Jumat (18/12/2020) pukul 12.00 WIB memperlihatkan ada penambahan 6.689 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir.

Penambahan itu menyebabkan total kasus Covid-19 di Indonesia kini mencapai 650.197 orang, terhitung sejak diumumkannya pasien pertama pada 2 Maret 2020.

Upaya pencegahan dengan penerapan protokol kesehatan, mulai dari menjaga masker hingga menjaga jarak pun terus didengungkan.

Lantas bagaimana cara kerja antibodi terhadap Covid-19?

Sistem kekebalan mempunyai beberapa bagian, termasuk respons lini pertama yang melibatkan sel-sel kekebalan, mengingatkan tubuh akan serangan di sel yang terinfeksi.

Respons ini mengarah pada aktivasi, dikenal sebagai sistem kekebalan adaptif yang penting untuk masa mendatang.

"Sistem kekebalan adaptif memiliki ciri khusus dalam ingatan, yang dimanfaatkan dalam vaksin," kata pakar imunologi penyakit menular di Imperial College London Prof Danny Altmann seperti dikutip dari The Guardian, 18 Desember 2020.

Sel kekebalan adaptif melibatkan dua jenis utama dari sel darah putih atau limfosit, yaitu sel B dan sel T.

Sel B menghasilkan protein antibodi yang dapat menempel pada virus untuk mencegahnya memasuki sel.

Sedangkan, sel T membunuh sel yang terinfeksi virus dan membuat protein, disebut sitokin.

Sitokin membantu mengubah sel B menjadi sel berumur panjang yang menghasilkan antibodi yang lebih baik.

Sel B akan menjadi memori yang dapat dengan cepat mengeluarkan antibodi khusus jika tubuh terpapar virus lagi.

"Biasanya, kekebalan sel T, kekebalan sel B, dan antibodi, berjalanan beriringan dalam mengalahkan virus," ujar Altmann.

Namun, penelitian telah menemukan banyak orang yang menderita Covid-19 mempunyai sel T dan antibodi terhadap virus.

Kendati begitu, penelitian terbaru menunjukkan antibodi yang tidak bekerja dengan baik dapat berperan dalam kondisi orang dengan Covid-19, yang membuat gejala menetap selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah infeksi.

Ini dikarenakan, protein mengganggu mekanisme pertahanan bahkan menyerang organ.

Baca Juga: Harapan Baru, Vaksin Covid-19 Oxford Picu Respons Imun pada Lansia

tribunnews

Ilustrasi pasien Covid-19

Apa yang terjadi setelah infeksi berlalu?

Setelah infeksi, tingkat antibodi mulai berkurang, dengan sel B dan sel T cenderung bertahan lebih lama.

Sebuah studi yang dirilis pada Juli, menunjukkan tingkat antibodi Covid-19 turun selama tiga bulan, dalam beberapa kasus menjadi tidak terdeteksi.

Selain itu, ditemukan kecepatan dan skala penurunan yang kemungkinan berbeda antara pria dan wanita.

Tingkat antibodi yang diproduksi dan lamanya waktu bertahan, tampaknya terkait dengan tingkat keparahan penyakit.

Namun, penelitian lain yang juga belum ditinjau oleh rekan sejawat, menunjukkan antibodi Covid-19 hanya mengalami penurunan kecil selama enam bulan setelah infeksi.

Adapun tingkat sel-T turun setengah selama tiga sampai lima bulan, kemudian stabil setelah enam bulan dan sel-B memori menjadi lebih berlimpah.

Apa artinya untuk kekebalan? Beberapa penelitian menunjukkan, virus corona lain termasuk beberapa flu biasa, merusak produksi sel B memori, mengartikan jika sel-sel ini ada, akan kurang efektif dari yang diharapkan.

Sementara satu penelitian yang belum ditinjau oleh rekan sejawat, menemukan bahwa orang dengan tingkat sel T yang lebih tinggi terhadap Covid-19, lebih kecil kemungkinannya untuk terinfeksi.

Adapun lebih dari setengah dari kelompok ini juga memiliki antibodi terhadap virus.

"Fakta bahwa orang terinfeksi ulang secara teratur sepanjang hidup dengan virus corona musiman menunjukkan kekebalan dimediasi antibodi dan/atau sel T, kemungkinan tidak terlalu tahan lama," ujar ketua virologi influenza di Imperial College London Prof Wendy Barclay.

Seorang profesor kedokteran pernapasan dan alergi di Imperial College London Sebastian Johnston mengatakan, jika infeksi ulang benar-benar terjadi, kemungkinannya tidak separah yang pertama atau bahkan tanpa gejala, meskipun itu tidak selalu terjadi .

Diperingatkan, seseorang yang mungkin kebal terhadap penyakit, tetap dapat menularkan virus, sekalipun kekebalan bertahan dua hingga tiga tahun pada satu orang, tidak berarti akan bertahan selama itu pada orang lain.

Perlindungan sel T dari paparan virus corona lain Kemungkinan ada perlindungan sel T dari paparan virus corona lain.

Dalam studi sel T sebelumnya, sebesar 45 persen peserta dengan tingkat sel T yang tinggi tampaknya terlindungi dari Covid19, namun tidak memiliki antibodi terhadap virus.

Itu memunculkan sejumlah kemungkinan, salah satunya kelompok ini memiliki sel T pelindung yang dihasilkan oleh paparan virus corona lain, sesuatu yang dikenal sebagai reaktivitas silang pelindung.

Altmann menuturkan, penelitian lain menunjukkan sebesar 30-40 persen sampel darah pra-pandemi menunjukkan respons sel-T berdasarkan reaktivitas silang tersebut.

Tapi, tidak berarti sel T menawarkan banyak perlindungan terhadap Covid-19. Johnston memaparkan, perlindungan yang dihasilkan virus corona lain kemungkinan membantu menjelaskan banyaknya infeksi Covid-19 tidak bergejala.

Baca Juga: Alasan Harus Rajin Berjemur, Kurang Vitamin D Kamu Bisa Alami Hal Ini

Kompas.com
SHUTTERSTOCK/BaLL LunLa

Ilustrasi - vaksinasi Covid-19.

Bagaimana perlindungan diri terhadap vaksin?

Vaksin Moderna, Pfizer/BioNTech dan Oxford/AstraZeneca, semuanya terbukti menghasilkan respons kekebalan dan menawarkan perlindungan terhadap pengembangan Covid-19.

Terlebih, flu musiman membutuhkan vaksin yang berbeda setiap tahunnya karena bermutasi dengan cepat.

Altmann menjelaskan, strain baru Covid-19 yang terdeteksi di Inggris tidak mungkin menyebabkan masalah untuk vaksinasi, yang mencatat antibodi penetral yang diinduksi oleh vaksin mengikat banyak bagian berbeda dari protein lonjakan, bagian dari virus yang membantunya memasuki sel.

"Mutasi (pada virus) diperkirakan membuat perubahan kecil menjadi terjadinya sedikit lonjakan," jelasnya.

Namun, tidak diketahui secara pasti lamanya perlindungan vaksinasi akan bertahan, hingga vaksin dapat mencegah infeksi dan penularan serta penyakit.

"Vaksin itu bisa lebih baik daripada kekebalan alami, tapi kita tidak akan tahu sampai kita mempelajari keduanya dalam jangka panjang," papar Johnston.

Sehingga, saat ini penting untuk mengetahui aspek-aspek yang berbeda dari respons imun berkorelasi dengan perlindungan dan cara terbaik untuk mengukurnya. Artikel ini telah tayang di Kompas.comdengan judul Bagaimana Cara Kerja Antibodi terhadap Covid-19?

#Berbagiidea #Berbagicerita #Bisadarirumah #Gridnetwork

(*)

Tag

Editor : Maulina Kadiranti

Sumber kompas