Banyak Klaim Tentang Bangunan Hijau, Apa Kriteria Sebenarnya?

Minggu, 06 Oktober 2019 | 18:00
Dok. Onduline

Ilustrasi bangunan hijau yang manfaatkan vegetasi untuk kelestarian lingkungan.

IDEAOnline-Istilah hijau masih sulit didefinisikan, apalagi jika dikorelasikan dengan arsitektur.

Ironisnya, istilah itu malah digunakan secara berlebihan untuk memperkenalkan dan menjual proyek-proyek baru.

Dalam artikel berjudul "Architecture in Tune With the Climate", New York Times menulis bahwamengorelasikan proyek dengan istilah hijau mampu membuat sebuah proyek laku di pasaran.

Tak heran, hal itu semakin sering dilakukan. Termasuk di Indonesia.

Perkantoran, apartemen, bahkan pusat-pusat perbelanjaan di Tanah Air diklaim mengadopsi konsep-konsep "bangunan hijau" atau green building.

Mulai sekadar menyiapkan taman dan tanaman dalam jumlah besar, hingga benar-benar berusaha menghemat energi, mendaur ulang sumber daya, atau menggunakan material ramah lingkungan dilakukan demi mencapai kata hijau tersebut.

Sebenarnya, ada tolok ukur yang bisa dijadikan patokan dalam membangun dan menilai "bangunan hijau".

Di Indonesia, patokan tersebut ditetapkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI).

Ada enam kriteria agar sebuah bangunan bisa disebut sebagai green buildingyakni,tata guna lahan, efisiensi energi, konservasi air, bahan ramah lingkungan, kualitas udara (indoor quality), dan managemen sampah.

Baca Juga: Bagaimana Konsep Ramah Lingkungan pada Material, Ini Kriterianya!

www.mcphersonarchitecture.com
www.mcphersonarchitecture.com

Ilustrasi bangunan hijau dengan menghadirkan green roof.

Selain GBCI, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sudah menerbitkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau.

Peraturan tersebut mengatur penerapan konsep hemat energi dan ramah lingkungan dalam bangunan gedung.

Menurut aturan ini, "bangunan hijau" adalah bangunan gedung yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya.

Sejak perencanaan, bangunan tersebut sudah harus dibuat dengan efisien.

Begitu pula dengan pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, pemeliharaan, sampai penghancurannya suatu hari nanti.

Menurut peraturan tersebut, jenis bangunan secara garis besar dibagi menjadi dua: bangunan baru dan bangunan eksisting.

Untuk bangunan baru, bangunan tersebut wajib memenuhi efisiensi energi, efisiensi air, menjaga kualitas udara dalam lingkungan, mengelola lahan dan limbah, serta melakukan konstruksi dengan memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja.

Dalam proses kontruksi bangunan tersebut, pengembang dan pihak terkait juga wajib melakukan konservasi air pada lokasi konstruksi, dan mengelola limbah berbahaya.

Baca Juga: Inilah Beberapa Cara untuk Menerapkan Konsep Hijau pada Bangunan

Dok. Synthesis Development

Apartemen di tengah kota Jakarta berkonsep bangunan hijau.

Sementara itu, bangunan gedung eksisting harus memenuhi persyaratan berupa konservasi dan efisiensi energi, efisiensi air (termasuk efisiensi penggunaan dan pemantauan kualitas air).

Kemudian, kualitas udara dalam ruang, serta memperhatikan manajemen pemeliharaan bangunan tersebut. Inilah kriteria menyebut sebuah bangunan sebagai "bangunan hijau".

Berdasarkan berbagai kriteria tersebut, baik ditentukan oleh organisasi yang menaruh perhatian khusus pada bangunan hijau maupun pemerintah setempat, konsumen properti sebaiknya tak lagi mudah terpukau oleh berbagai promosi "bangunan hijau".

Di saat bersamaan, pengembang pun perlu mengecek dan menguji lagi proyek-proyek mereka sebelum berani memberikan label "hijau" bagi produknya. Artikel ini telah tayang di Kompas.comdengan judul Tak Perlu Terpukau dengan Promosi Bangunan Hijau #BerbagiIDEA

Editor : Maulina Kadiranti

Sumber : kompas

Baca Lainnya