Pengembangan kawasan terintegrasi transportasi publik atautransit oriented development (TOD) menjadi kue yang diperebutkan oleh swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Hal ini karena berjualan properti dengan melibatkan istilah TOD mampu menarik perhatian pembeli.
Produk-produk properti berlabel TOD macam LRT City yang digagas PT Adhi Persada Properti, Grand Kamala Lagoon milik PT PP Properti Tbk atau rusunami di stasiun Depok, laris manis diserbu pembeli.
Wajar jika embel-embel TOD dianggap sangat seksi karena bisa mendulang keuntungan.
Meski demikian, dari segi aturan, pengelolaan TOD masih masih perlu ditinjau kembali agar tidak hanya dilihat dari segi keuntungan beberapa pihak saja.
Lebih jauh dari itu, pengembangan kawasan berbasis transit harus menjadi kesempatan untuk memperbaiki kawasan dan kota secara keseluruhan.
"Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2017 sekarang mengarah pengusahaan kawasan, padahal yang harus ditegakkan adalah regenerasi kota-kota, tidak mengatur pengusahaan seperti sekarang," ujar Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro kepadaKompas.comdi sela-sela diskusi soal TOD, di Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Terlepas dari pengusahaan TOD yang diperdebatkan harus dilakukan oleh BUMN, BUMD atau swasta, menurut Bernardus hal yang paling substansial adalah apakah kawasan yang dikembangkan memiliki daya dukung yang cukup.
Kalau kawasan TOD dibiarkan berjalan seperti tren yang ada saat ini dan tanpa aturan yang tepat, maka pengembangan akan berjalan tidak terkontrol.
Hal yang perlu diperbaiki adalah menekankan kembali apa tujuan TOD dibuat, yaitu memperbaiki kawasan dan membuat kota lebih baik.
"Aturan untuk mengusahakan kawasan di sekitar terminal atau stasun saja tidak cukup. TOD kan nanti akan menarik trafik penumpang atau penghuni kawasan," jelas Bernardus. (Arimbi Ramadhiani)
Artikel ini telah tayang sebelumnya di Kompas.com dengan judul "Barang Seksi Bernama TOD Itu Belum Dipayungi Aturan"