Untuk mendeteksinya, aplikasi akan meminta "pasien" untuk batuk beberapa kali, kemudian mengucapkan suara vokal dan membaca alfabet.
Setelah selesai mengikuti semua tes, aplikasi akan memunculkan skor berupa garis indikator yang akan menunjukan kemungkinan seseorang terinfeksi Covid-19 atau tidak berdasarkan perhitungan algoritma.
Menurut profesor ilmu komputer Carneige Mellon, Rita Sigh yang terlibat dalam proyek ini, suara batuk yang dikeluarkan penderita Covid-19 berbeda dari yang bukan penderita.
"(Virus) itu menginfeksi paru-paru dengan sangat buruk sehingga mempengaruhi pola pernapasan dan parameter alat vital lain, dan penderita memiliki tanda-tanda suara yang kuat," jelas Sigh.
Sigh diketahui telah bertahun-tahun mengembangkan algoritma yang bisa mengidentifikasi micro-signatures atau tanda-tanda halus di dalam tubuh manusia yang diyakininya bisa mengungkap keadaan psikologis, fisiologi, dan data medis seseorang.
Pengembangan aplikasi terkendala karena para peneliti mengerjakannya dari rumah masing-masing.
Sebab, sebagaimana kebanyakan kampus di dunia, University of Carnegige Mellon juga ditutup karena pandemi Covid-19.
Dari rumah masing-masing, mereka mengumpulkan data suara pasien positif Covid-19 untuk melatih algoritma.
Mereka juga dibantu oleh para peneliti dari negara lain untuk mengumpulkan data.
Tim tidak hanya mengumpukkan suara dari pasien positif Covid-19 tapi juga penderita virus lain.