Tinggal di negara tropis, kita memiliki cahaya matahari yang berlimpah, demikian pun dengan hujannya. Akan mendatangkan keuntungan, jika bisa optimal memanfaatkannya. Contohnya, kita bisa berhemat listrik kerena cahaya matahari bisa jadi penerang alami di siang hari sehingga tak perlu menyalakan lampu. Turunnya hujan yang disertai angin, jika dimanfaatkan dengan benar tentu bisa membuat rumah sejuk.
Namun kenyataannya, tak banyak orang merasa mengecap keuntungan dengan iklim tropis ini. Justru panas dan gerah yang sering dirasakan singgah di rumah mereka. Panas, karena paparan matahari yang seakan menembus ke dalam rumah dari segala sisi (atap, dinding, dan bahkan lantai). Gerah, karena udara atau angin yang segar itu seakan berubah jadi uap panas dan memenuhi seluruh ruang di dalam rumah. Yang jika keduanya (panas dan gerah) menyatu, akan menjadikan siapapun yang ada di dalam rumah seperti terpanggang.
Ren Katili, arsitek dari Arsitektropis, mengungkapkan bahwa untuk membuat rumah sejuk, yang dapat dilakukan antara lain dengan membuat sistem pengudaraan yang baik dan terencana. Namun, realitanya, zaman sekarang sudah sulit menemukan rumah , utamanya di daerah perkotaan yang dibangun dengan menggunakan ventilasi alami yang memadai. Keadaan ini mendorong digunakannya AC.
Pemakaian AC bukan suatu barang baru saat ini. Namun kita semua tahu penggunaan AC memerlukan energi untuk pengoperasiannya. Naning Adiwoso, arsitek dan pemerhati lingkungan, founding mother GBCI (Green Building Council Indonesia) mengungkap sebuah fakta bahwa hampir setengah energi rumah tangga selama ini habis digunakan untuk membuat rumah sejuk dengan cara mengaktifkan pendingin ruangan. Dan energi itu tidak kita peroleh dengan cuma-cuma tentunya. Selain harus membayar, persediaannya pun makin lama makin habis. Bahkan, beberapa produk pendingin ruang punya efek merusak lingkungan karena menggunakan bahan pendingin yang berpotensi pada penipisan ozon di bumi.