Follow Us

Surabaya Di Atas Kampung-kampung (PART-2)

Devi F. Yuliwardhani - Selasa, 25 Maret 2014 | 05:05
Surabaya Di Atas Kampung kampung PART 2
Devi F. Yuliwardhani

Surabaya Di Atas Kampung kampung PART 2

iDEAonline.co.id - Kampung Pecinan di Surabaya adalah kampung yang mengalami perkembangan. Pada awalnya, Kampung Pecinan terbentuk di Chinesche Voorstraat atau Pecinan Kulon (kini Jalan Karet) yang menghadap Sungai Kalimas. Konon, posisi ini dapat membawa keberuntungan. Di masa-masa awal, Kampung Pecinan juga muncul di Jalan Tepekong (kini Jalan Cokelat). Sebagai penanda, ada klenteng tertua di Surabaya bernama Hok An Kiong (klenteng Dewa Mazu) yang berada di kawasan Jalan Cokelat.

Kini, kampung orang-orang Tionghoa ini berada di kawasan Kembang Jepun, dengan dibatasi kawasan Ampel di utara; Pasar Atum, Stasiun Semut, dan Jagalan di selatan; Simokerto, Kali Pegirikan, dan Kapasan di Timur; serta Kalimas dan Jalan Rajawali di barat.

Jalan Kembang Jepun adalah salah satu bukti bahwa orang-orang Tionghoa telah berperan penting dalam membangun perekonomian kota. Kawasan ini bahkan menjadi penghubung penting antara kawasan perdagangan Eropa (Heerenstraat) dan kawasan lain yang berkembang di selatan Surabaya.

Sementara, kenapa ada Kampung Arab? Ini diawali pada zaman Majapahit. Raja kala itu, Bhre Kertabumi, memberikan sebidang lahan di Ampel Denta kepada Sayyid Ali Rahmatullah sebagai rasa terima kasih atas bantuan Sayyid Ali mengatasi kemorosotan di Majapahit.

Ampel Denta kemudian berkembang sebagai pusat ilmu agama Islam. Di luar itu, kawasan ini juga menjadi kawasan perdagangan yang diramaikan oleh (sebagian besar) pendatang dari Arab. Tahukah Anda, Pasar Ampel adalah pasar tertua di Surabaya dengan pusat jual beli yang sudah terjadi sejak tahun 1420?

Kini, Kampung Arab berkembang dengan batasan di sebelah utara adalah Jalan Danakarya, selatan Pasar Pabean, timur kali Pegirian, dan barat adalah Sungai Kalimas. Terbentuk menjadi kampung yang islami, dari segi bangunan, Kampung Arab dihiasi oleh bangunan-bangunan lama berarsitektur Melayu, seperti rumah kampung, pasar, masjid, dan lain-lain.

Yang menarik justru terjadi pada Kampung Eropa. Kita sudah tidak bisa lagi menemukan satu kampung lengkap dengan warga keturunan Eropa di dalamnya. Yang tersisa hanyalah bangunan-bangunan tua bergaya Eropa di beberapa titik di Surabaya.

Awalnya, pada 1870-an, di Jalan Rajawali dan Jalan Veteran didirikan banyak gedung kantor dan pertokoan berarsitektur Belanda. Pada 1890-an, arsitektur Eropa ada di selatan Surabaya, yaitu sepanjang Ketabang hingga Darmo. Hingga, ketika perdagangan di Kampung Eropa tumbuh subur pada 1900-an, kawasan ini meluas hingga ke Gemblongan, Tunjungan, dan Kaliasin.

Orang-orang Eropa seolah lesap ditelan bumi akibat adanya "masa bersiap" pascakemerdekaan, atau disebut juga masa nasionalisasi. Kala itu, semua orang bersiap akan kedatangan bangsa Belanda yang akan kembali menjajah Indonesia. Sementara, orang-orang Belanda yang memang masih ada di Indonesia boleh tinggal di kawasan perumahan mereka (di Darmo), dengan syarat tidak boleh ke mana-mana.

Pada masa bersiap tersebut, para pejuang mengambil secara sepihak rumah-rumah orang Belanda. Karena sudah kalah, orang-orang Belanda itu ingin mengklaim kembali rumah-rumah mereka, tapi sulit. Opsinya hanya dua: tinggal di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia, atau pulang ke Belanda. Mereka seperti dipaksa untuk pulang ke negaranya sendiri. dan kenyataannya, banyak yang lebih memilih untuk mudik ke Belanda. "Jadi fisik bangunan ada, tetapi penghuninya tidak ada," kata Nikki Putrayana dari Surabaya Tempo Dulu.

Jalan-jalan utama kawasan Eropa di Surabaya:

Heerenstraat (Jln. Rajawali)Willemstraat (Jln. Jembatan Merah)Roomkatholikstraat (Jln. Kepanjen)Boomstraat (Jln. Branjangan)Schoolstraat (Jln. Garuda)Werfstraat (Jln. Penjara)Societeitstraat (Jln. Veteran)

Halaman Selanjutnya

Heerenstraat (Jln. Rajawali)
1 2

Editor : iDEA

Latest