Maluku dan Maluku Utara/2014: Rp 120 juta, 2015: Rp 126,5 juta, 2016: Rp 133,5 juta, 2017: Rp 141 juta, 2018: Rp 148,5 juta.
Bali dan Nusa Tenggara/2014: Rp 120 juta, 2015: Rp 126,5 juta, 2016: Rp 133,5 juta, 2017: Rp 141 juta, dan 2018: Rp 148,5 juta.
Bali dan Nusa Tenggara/2014: Rp 120 juta, 2015: Rp 126,5 juta, 2016: Rp 133,5 juta, 2017: Rp 141 juta, dan 2018: Rp 148,5 juta.
Papua dan Papua Barat/2014: Rp 165 juta, 2015: Rp 174 juta, 2016: Rp 183,5 juta, 2017: Rp 193,5 juta dan 2018: Rp 205 juta
Papua dan Papua Barat/2014: Rp 165 juta, 2015: Rp 174 juta, 2016: Rp 183,5 juta, 2017: Rp 193,5 juta dan 2018: Rp 205 juta
Kep Riau dan Bangka Belitung/2014: Rp 110 juta, 2015: Rp 116 juta, 2016: Rp 122,5 juta, 2017: Rp 129 juta, dna 2018: Rp 136 juta
Kep Riau dan Bangka Belitung/2014: Rp 110 juta, 2015: Rp 116 juta, 2016: Rp 122,5 juta, 2017: Rp 129 juta, dna 2018: Rp 136 juta
Jabodetabek/2014: Rp 120 juta, 2015: Rp 126,5 juta, 2016: Rp 133,5 juta, 2017: Rp 141 juta, dan 2018: Rp 148,5 juta.
Jabodetabek/2014: Rp 120 juta, 2015: Rp 126,5 juta, 2016: Rp 133,5 juta, 2017: Rp 141 juta, dan 2018: Rp 148,5 juta.
Tahun depan, per 31 Maret 2015, pemerintah memang akan meniadakan subsidi untuk rumah tapak murah. Namun, rumah tapak murah tersebut akan tetap bebas pajar pertambahan nilai (PPN) selama masih di bawah pengaturan harga jual yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia.
Menurut Sri, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih bisa menikmati salah satu bentuk subsidi dari pemerintah, yaitu pembebasan PPN atas rumah tapak murah. Selain itu, bank, khususnya BTN, pun biasanya akan menawarkan jalan keluar dengan bunga yang tidak sebesar bunga KPR komersial.
"Subsidi paling tidak ada dua macam subsidi, yaitu bebas PPN dan FLPP. Tahun depan distop (untuk rumah tapak), hanya bebas PPN. Bunganya komersial, tapi bank akan menawarkan jasa mediasi perbankannya. BTN biasanya akan memberikan bunganya tidak terlalu komersial," ujar Sri.