Follow Us

Ingat Zaha Hadid? Beginilah Asal Mula Arsitektur Dekonstruksi Muncul

Fatur Rohman - Kamis, 25 Juli 2019 | 15:00
Bard College Performing Art Center, karya Frank Gehry.
www.metapedia.com

Bard College Performing Art Center, karya Frank Gehry.

Laporan Tabloid Rumah 210

IDEAonline - Bentuknya aneh, tidak beraturan, dan terkesan kacau.

Strukturnya seperti mau runtuh. Tidak jelas mana bagian depan dan belakang.

Itulah bangunan berarsitektur dekonstruksi.

Frank O. Gehry, salah satu pelopor arsitektur dekonstruksi.
www.awdesignlog.blogspot.com

Frank O. Gehry, salah satu pelopor arsitektur dekonstruksi.

Dilihat dari bentuk visual bangunannya, arsitektur dekonstruksi memang terlihat ”aneh”.

Sangat berbeda dengan arsitektur modern, yang serba teratur dan banyak menggunakan bentuk-bentuk geometris dan kotak-kotak sederhana.

Baca Juga: Kembali Ditangkap, Kriss Hatta Ceritakan Kondisi Rumah Tahanan Sebelumnya yang Menyedihkan, 'Tidur Mirip Ikan Asin'

Pada dekonstruksi, yang muncul justru kebalikannya.

Bentuknya tidak beraturan, sehingga tidak dapat dipastikan bentuk bangunannya.

Mendobrak Kemonotonan

Arsitektur dekosntruksi muncul sebagai bentuk penolakan terhadap kaidah dan standar arsitektur modern yang berlaku pada saat itu.

Para arsitek dekonstruksi merasa jenuh terhadap kemonotonan desain yang ada saat itu.

Kondisi itulah yang mengusik para arsitek untuk membuat karya desain yang berbeda.

Dekonstruksi merupakan salah satu jalan keluar yang diambil oleh arsitek untuk keluar dari permasalahan-permasalahan yang timbul dari kejenuhan akan arsitektur modern.

Bangunan dibuat tidak memiliki unsur logis dengan bentuk yang tidak berhubungan satu sama lain, tidak harmonis, dan abstrak.

Pada arsitektur dekonstruksi, yang ditonjolkan adalah geometri 3-D, bukan hasil proyeksi 2-D.

Inilah yang memberi kesan miring dan semrawut pada gaya dekonstruksi.

Baca Juga: Sudah Ada Sejak Ratusan Tahun Sebelum Masehi, Ini Asal-usul Chandelier

Selain itu, penggunaan warna sebagai aksen juga ditonjolkan, sedangkan penggunaan tekstur kurang berperan.

Bard College Performing Art Center, karya Frank Gehry.
www.metapedia.com

Bard College Performing Art Center, karya Frank Gehry.

Berawal dari Prancis dan Inggris

Nama dekonstruksi secara resmi disebut sebagai sebuah arsitektur baru pada tahun 1988.

Berawal dari sebuah diskusi Academy Forum di Tate Gallery, London.

Baca Juga: Hemat Tempat dan Ringkas, Ternyata Begini Asal-usul 'Kursi Puff' Kursi Berbentuk Bulat

Kemudian disusul oleh pameran di Museum of Art, New York, 23 Juni—30 Agustus 1988 dengan tema Deconstructivist Architecture yang diorganisir oleh Philip Johnson dan Mark Wigley.

Selain itu, juga terdapat 7 arsitek lainnya, seperti Peter Eisenman, Bernard Tschumi, Daneil Libeskind, Frank Gehry, Zaha Hadid, Rem Koolhaas, dan Coop Himmelblau.

Mereka menampilkan karya-karyanya, yang semuanya bergaya dekonstruksi.

Sejak saat itu, arsitektur dekonstruksi berkembang cukup pesat.

Arsitektur ini banyak diadopsi di Amerika dan negara-negara Eropa.

Tak heran, bangunan bergaya dekonstruksi banyak dijumpai di kedua benua ini.

Prinsip Dasar Dalam Dekonstruksi

Baca Juga: Mau Tau Asal-usul Gaya Rustik? Cek Sekaligus Cara Pengaplikasian di Rumah!

Selain menghasilkan bentuk desain bangunan yang unik, arsitektur dekonstruksi juga menelurkan beberapa prinsip dasar mengenai arsitektur.

Tidak ada yang absolut dalam arsitektur, sehingga tidak ada satu langgam yang dianggap terbaik.

Semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.

Tidak ada ”pendewaan” tokoh dalam arsitektur, sehingga tidak timbul kecenderungan pengulangan ciri antara arsitek satu dan yang lain hanya karena arsitek yang satu dianggap ”dewa” yang karyanya harus ditiru.

Dominasi pandangan dan nilai absolut dalam arsitektur harus diakhiri, sehingga perkembangan arsitektur selanjutnya harus mengarah kepada keragaman pandangan dan tata nilai.

Pengutamaan indera penglihatan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu karya dalam arsitektur harus diakhiri.

Potensi indera lain harus dapat dimanfaatkan pula secara seimbang.

(*)

Editor : Maulina Kadiranti

Baca Lainnya

Latest