Contohnya, tidak boleh menggunakan satu jenis material kayu saja, melainkan harus berbagai jenis kayu.
Hal itu bertujuan agar tidak ada penggunaan satu jenis kayu tertentu secara berlebihan yang akan mengancam dan berakibat pada kepunahan.
Sehingga dengan membagi jenis-jenis kayu ini maka satu jenis kayu itu tidak akan cepat abis, jadi ketersediaannya di alam akan bisa berkelanjutan," sambung Nuri.
Khusus untuk membangun tempat suci dapat menggunakan jenis kayu cendana untuk rangkap atap, menengen untuk membuat kolom, cempaka untuk kolom atau balok, kwanditan untuk balok dan kayu suren untuk membangun dinding.
Sementara itu, untuk membangun bale atau tempat tidur, dapat menggunakan jenis kayu nangka dan kwanditan, kayu jati dan kuwet, kayu benda dan gentimun, kayu timbul dan kaliasem hingga kayu sukun dan bulwan.
"Jadi untuk arsitektur Bali, masalah kayu saja juga diatur terutama untuk menjaga ketersediaannya agar tidak habis," sambung Nuri.
Pada naskah yang sama, hampir setiap ruang bangunan yang menggunakan arsitektural Bali diatur secara rinci dengan memiliki peran dan fungsinya masing-masing.
Misalnya pengaturan dalam membangun pawon atau dapur, pemesuan atau pintu masuk hingga paduraksa atau sudut-sudut pekarangan rumah atau bangunan.
"Itu meliputi tata letaknya, seperti apakah di Utara, selatan barat dan lainnya, lalu bagaimana konsep dan desaun bangunannya, hingga materialnya," ujar dia.
Baca Juga: Tak Sembarang Bangun, Ini Makna Filosofis Rumah Tradisional di Bali