Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Obat Pereda Nyeri Jangan Diminum sebelum Divaksin Covid-19, Mengapa?

Kontributor 01 - Kamis, 25 Maret 2021 | 21:26
Ilustrasi vaksin Sinovac.
Kompas.com/ALWI

Ilustrasi vaksin Sinovac.

IDEAOnline-Agar vaksin Covid-19 optimal, disarankan calon penerima vaksin untuk menjaga kesehatannya dengan konsumsi berbagai makanan sehat dan istirahat cukup.

Namun, ada juga beberapa anjuran untuk tidak mengonsumsi jenis obat tertentu.

Pembahasan mengenai efek samping vaksin Covid-19 menjadi salah satu yang disoroti, terlebih saat ini semakin banyak masyarakat yang sudah mendapatkan vaksin.

Meskipun ada beberapa efek samping vaksin yang umum terjadi setelah divaksin, namun masyarakat dianjurkan untuk tidak mengonsumsi painkiller alias obat pereda nyeri sebelum sesi vaksin. Apa sebabnya?

Pakar Virologi dan Imunologi UGM, Mohamad Saifudin Hakim menjelaskan melalui laman ugm.ac.id bahwa obat pereda nyeri sebaiknya tidak dikonsumsi sebelum vaksin, kecuali ada anjuran dari dokter karena kondisi khusus.

"(Sebab) sakit yang muncul setelah suntikan vaksinasi adalah kondisi yang normal," ungkapnya. Adapun beberapa efek samping yang umum dialami setelah vaksinasi Covid-19, seperti sakit kepala, mual, nyeri di tempat suntikan, mengantuk, hingga nyeri otot.

Wajar jika beberapa orang ingin mengantisipasi rasa sakit atau ketidaknyamanan yang mungkin timbul setelah disuntik vaksin, namun belum jelas bagaimana obat-obatan tersebut memengaruhi kemampuan vaksin untuk membuat antibodi penting melawan Covid-19.

"Beberapa penelitian kecil pada anak-anak yang berkaitan dengan vaksin biasa (bukan vaksin Covid-19) menunjukkan bahwa konsumsi pereda nyeri seperti ibuprofen atau asetaminofen sebelum disuntik vaksin dapat sedikit mengurangi respons antibodi tubuh."

Baca Juga: Ini Alasan Medis Mengapa Vaksin Covid-19 Disuntikkan di Bahu

Suasana vaksinasi Covid-19 untuk lansia di Puskesmas Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (23/2/2021)(

Suasana vaksinasi Covid-19 untuk lansia di Puskesmas Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (23/2/2021)(

"Tapi tidak ada yang benar-benar tahu apakah ini memiliki signifikansi klinis dan tidak pernah dipelajari dalam skala klinis," ungkap spesialis penyakit menular dan profesor di Vanderbilt University School of Medicine, William Schaffner, MD, kepada Prevention.

Source : kompas

Editor : iDEA





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Tag Popular