IDEAonline -Belakangan ini, gejala Covid-19 terus mengalami pertambahan.
Ya, selain demam, pilek, dan kelelahan, ternyata virus corona perlahan mulai menyerang sistem tubuh lainnya.
Dengan terjadinya hal tersebut, masyarakat dunia diminta untuk semakin waspada.
Peneliti pun mengungkap lima tanda atau gejala yang paling sering dialami seseorang yang terinfeksi virus corona.
Sakit kepala, kurang fokus, nyeri otot, kehilangan penciuman atau rasa, bahkan sakit mata.
Sebagaimana diketahui, saatterinfeksi Covid-19, tubuh akan membangun pasukan pelindung sel kekebalan.
Tapi, sel kekebalan ini tampaknya akan bertahan dalam rentang waktu yang berbeda pada setiap orang.
Kekebalan tubuh bertahan sampai?
Dilansir dari kompas.com,ada orang yang terinfeksi ulang virus corona, ada juga yang tidak.
Namun, melansir Live Science, peneliti melakukan sebuah studi baru yang menunjukkan, sel kekebalan akan bertahan selama lebih dari enam bulan setelah infeksi Covid-19 menghilang.
Bahkan, menurut para peneliti, sel-sel kekebalan tampak stabil dan dapat bertahan dari serangan virus setidaknya hingga beberapa tahun.
"Jumlah sel kekebalan itu kemungkinan akan mencegah sebagian besar orang mengalami sakit parah dan harus dirawat inap, hingga bertahun-tahun,” kata rekan penulis Shane Crotty, ahli virologi di La Jolla Institute of Immunology di California, kepada The New York Times.
Meski demikian, menurut Nicolas Vabret, asisten profesor kedokteran di Fakultas Kedokteran Mount Sinai Icahn, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, membuat prediksi tentang berapa lama kekebalan terhadap virus corona bisa menjadi sesuatu yang rumit.
"Ini akan mengejutkan, melihat sel kekebalan menumpuk pada pasien selama enam bulan dan tiba-tiba rusak setelah satu tahun," kata Vabret.
Ia mengatakan, satu-satunya cara untuk mengetahui apakah kekebalan SARS-CoV-2 akan bertahan selama beberapa decade, adalah dengan mempelajari pasien selama periode waktu yang sama.
Dengan kata lain, kita tidak akan tahu persis berapa lama kekebalan bertahan tanpa terus mempelajari mereka yang telah pulih dari Covid-19.
Namun, studi baru, yang telah dipublikasikan 16 November lalu, ke database pracetak bioRxiv, memang memberikan petunjuk kuat bahwa perlindungan tersebut berumur panjang - meskipun jelas tidak pada semua orang, karena ada beberapa kasus orang yang terinfeksi ulang virus corona setelah pulih.
Penelitian ini menyelidiki sistem kekebalan manusia, menilai bagaimana garis pertahanan yang berbeda berubah setelah infeksi Covid-19.
Pertahanan ini termasuk antibodi, yang mengikat virus dan memanggil sel kekebalan untuk menghancurkan virus atau menetralkannya sendiri.
Sel B memori, sejenis sel darah putih, akan "mengingat" virus setelah infeksi sembuh dan membantu dengan cepat meningkatkan pertahanan tubuh, seandainya tubuh terpapar kembali.
Sementara itu, sel T memori, jenis sel darah putih lain, juga belajar mengenali virus corona dan membuang sel yang terinfeksi.
Dalam studi ini, penulis penelitian secara khusus mengamati sel T yang disebut sel CD8 + dan CD4 +.
Para peneliti menilai semua sel kekebalan dan antibodi ini pada 185 orang yang telah pulih dari Covid-19.
Sejumlah kecil peserta tidak pernah mengalami gejala penyakit, tetapi sebagian besar mengalami infeksi ringan yang tidak memerlukan rawat inap.
Dan 7% dari peserta dirawat di rumah sakit, karena gejala parah.
Mayoritas peserta memberikan satu sampel darah, antara enam hari dan delapan bulan setelah permulaan infeksi mereka.
Tiga puluh delapan peserta memberikan beberapa sampel darah di antara waktu tersebut, sehingga memungkinkan penulis untuk melacak respons kekebalan mereka sepanjang waktu.
Peneliti menemukan bahwa antibodi khusus untuk protein spike atau protein lonjakan - struktur pada permukaan virus - tetap stabil selama berbulan-bulan dan mulai berkurang sekitar enam hingga delapan bulan setelah infeksi.
Pada lima bulan pasca infeksi, hampir semua peserta masih membawa antibodi.
Volume antibodi ini sangat berbeda antar manusia, dengan perbedaan hingga 200 kali lipat antar individu.
“Jumlah antibodi biasanya turun setelah infeksi akut, jadi penurunan sederhana pada enam hingga delapan bulan tidak mengejutkan,” kata Vabret.
Sebagai perbandingan, memori sel T dan B yang mengenali virus tampak sangat stabil, kata para penulis.
"Pada dasarnya tidak ada ada kerusakan pada sel B memori yang diamati antara hari ke 50 hingga 240, tapi tampak ada kerusakan pada sel T memori. Meski demikian, kerusakannya sangat lambat,"jelas Marc Jenkins, seorang ahli imunologi di Sekolah Kedokteran Universitas Minnesota, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Pada awal pandemi, para ilmuwan sempat menyuarakan keprihatinan bahwa kekebalan terhadap virus dapat hilang dalam waktu sekitar satu tahun; dengan melihat tren empat virus corona yang menyebabkan flu biasa.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa reaksi tubuh terhadap virus corona biasa kemungkinan berbeda dari reaksi terhadap virus seperti SAR-CoV dan SARS-CoV-2, yang berpindah dari hewan ke manusia.
"Kami tidak yakin mengapa virus corona musiman tidak menyebabkan kekebalan pelindung yang bertahan lama," kata Vabret.
“Tetapi studi baru, bersama dengan bukti terbaru lainnya, menunjukkan bahwa kekebalan SARS-CoV-2 mungkin lebih kuat,” kata Jason Cyster, profesor mikrobiologi dan imunologi di University of California, San Francisco, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Meski demikian, beberapa peserta dalam studi baru tidak meningkatkan respons kekebalan jangka panjang terhadap virus corona baru.
Menurut Cyster, mungkin itu berasal dari perbedaan dalam seberapa banyak virus yang mereka temui pada awalnya, atau genetika dapat menjelaskan perbedaannya.
Misalnya, gen yang dikenal sebagai gen antigen leukosit manusia (HLA) sangat berbeda antar individu dan membantu mengingatkan sistem kekebalan terhadap ‘penjajah asing’.
Perbedaan yang melekat di antara orang-orang ini dapat membantu menjelaskan kasus infeksi ulang Covid-19, yang relatif jarang tetapi jumlahnya meningkat.
Sekali lagi, untuk benar-benar memahami berapa lama kekebalan Covid-19 bertahan, para ilmuwan perlu terus mempelajari pasien yang pulih.
"Tentu saja, kita perlu melihat enam bulan ke depan, dan melihat apakah jumlah sel T dan B tetap tinggi,” kata Cyster.
Jika benar kekebalan ini bertahan jangka panjang, apakah daya tahan itu akan dibawa juga oleh vaksin?
“Tetapi kekebalan alami dan kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin tidak dapat secara langsung dibandingkan,” kata Vabret.
"Mekanisme vaksin menyebabkan kekebalan tidak selalu sama dengan yang dihasilkan dari infeksi alami," imbuhnya.
Jadi perlindungan kekebalan yang dihasilkan dari vaksin, bisa bertahan lebih lama atau lebih pendek, daripada yang dihasilkan dari infeksi alami.
Misalnya, vaksin Pfizer dan Moderna yang menggunakan pengantar molekuler yang disebut mRNA untuk melatih tubuh mengenali dan menyerang virus corona.
Cyster berkata, tidak ada vaksin berbasis mRNA yang pernah disetujui sebelumnya, sehingga tak ada yang tahu tentang daya tahan respons tersebut.
“Tetapi sementara ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab, kesimpulan utama dari studi baru ini adalah, bahwa memori kekebalan terhadap SARS-CoV-2 sangat stabil, dan semoga akan bertahan di masa depan," kata Jenkins.Sebagian artikel telah tayang di Kompas.comdengan judulMungkinkah Kekebalan terhadap Virus Corona Bertahan hingga Puluhan Tahun?
#Berbagiidea #Berbagicerita #Bisadarirumah #Gridnetwork
(*)