IDEAOnline – Seiring dengan semakin modernnya gaya hidup manusia, permintaan akan kebutuhan sehari-hari terus meningkat. Tanpa disadari, tingginya permintaan tersebut turut berkontribusi pada penumpukan sampah. Saat ini, sampah yang dihasilkan dari aktivitas sehari-hari diperkirakan mencapai jutaan ton setiap tahun.
Untuk mencegah bertambahnya penumpukan sampah, penerapan gaya hidup nol sampah atau zero waste dapat menjadi solusi. Gaya hidup ini dilakukan sebagai upaya untuk tidak menghasilkan sampah, baik dengan mengurangi kebutuhan maupun menggunakan kembali suatu barang (reuse).
Sayangnya, menerapkan gaya hidup zero waste tidak semudah kelihatannya. Ada beberapa tantangan yang membuat gaya hidup ini sulit untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari.
Menurut Head of Marketing Great Eastern Life Indonesia, Roy Hendrata Gozalie, tantangan dalam menerapkan gaya hidup zero waste terdiri dari tantangan eksternal dan internal. Tantangan eksternal, menurutnya, sulit untuk dikontrol.
Baca Juga: Meniru Gaya Hidup Nol Sampah Tanpa Menggurui Ala Maurilla Imron
Hal tersebut ia sampaikan dalam acara bertajuk “Climate Talk Reach for a Greener Tomorrow: Zero Waste for Beginners”. Acara kolaborasi Great Eastern Life Indonesia dan Saya Pilih Bumi tersebut digelar secara daring melalui Instagram Live, Kamis (10/11/2022).
“Sejak pandemi, hampir semua restoran menerapkan sistem delivery. Mau tidak mau, restoran menggunakan kemasan plastik untuk membungkus makanan. Hal seperti ini tidak bisa dicegah karena penggunaan plastik memang wajib agar makanan enggak terkontaminasi,” papar Roy.
Sementara itu, untuk tantangan internal, kebanyakan masyarakat Indonesia menilai bahwa gaya hidup zero waste cenderung merepotkan dan tidak efisien.
“Orang-orang zaman sekarang, terutama anak muda, belum tentu mau bawa tempat makan sendiri saat beli makanan untuk dibungkus karena dianggap kurang praktis. Padahal, hal tersebut bisa membantu mengurangi sampah plastik,” ujar Roy.
Baca Juga: Panduan Masa Depan: Cara Menangkal dari Radiasi Kosmis di Luar Angkasa
Selain itu, masyarakat Indonesia terbiasa dengan pola konsumsi sekali pakai. Akibatnya, mereka cenderung ingin terus membeli barang (impulsive buying), meski sebenarnya barang tersebut tidak terlalu dibutuhkan.
“Contoh sederhananya, baju. Setiap saat, pasti ada saja produk (baju) baru dengan varian, motif, dan bahan yang berbeda. Orang-orang tergoda untuk membeli terus sehingga baju menumpuk di lemari. Padahal, kalau dipikirkan lagi, toh baju yang dipakai itu-itu saja,” kata Roy.