Follow Us

Yogyakarta: Keseimbangan dalam Pelestarian Budaya

Febrina Syaifullana (@vinna_mooo) - Jumat, 06 September 2013 | 10:00
Yogyakarta Keseimbangan dalam Pelestarian Budaya
Febrina Syaifullana (@vinna_mooo)

Yogyakarta Keseimbangan dalam Pelestarian Budaya

Ketika Intisari mengunjungi Yogyakarta beberapa waktu lalu, tampak Tugu Yogyakarta sedang dibungkus terpal dan dipagari dengan seng. Ikon kota Yogyakarta ini masih malu-malu, menunggu waktu menunjukkan keperkasaannya memancar di tengah Kota Yogyakarta.

Pada tahun ini, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melalui Dinas Kebudayaan memang sedang melakukan revitalisasi lima bangunan cagar budaya yang tersebar di sejumlah tempat. Tugu Yogyakarta menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang kebagian jatah dipercantik. Selain itu, ada bangunan Warung Sate Puas, Pura Pakualaman, Masjid Pathok Negoro Mlangi, dan Benteng Vredeburg.

Tentang budaya Yogyakarta sepertinya tidak pernah habis menjadi bahan cerita. Keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadingrat menjadi alasan utama kayanya unsur budaya di kota ini. Hal itu juga yang membuat Yogyakarta tetap menyandang statusnya sebagai Daerah Istimewa.

Melihat sejarahnya, Yogyakarta termasuk salah satu kota yang tidak dibangun Belanda secara keseluruhan. Inti kota dibangun terlebih dahulu oleh Sultan Hamengku Buwono I (HB I). Kota lain dibangun oleh Belanda untuk kepentingan khusus, misalnya dagang dan militer.

Menurut Setyoko, pengamat kebudayaan Yogyakarta, Solo dan Yogyakarta dibangun untuk kepentingan politik, yaitu kekuasaan Keraton Mataram. Dua duanya dibangun oleh orang yang sama. Surakarta dibangun Mangkubumi yang kelak menjadi HB I. "Karena menjadi arsitek keraton kakaknya, beliau juga yang mengarsiteki kerajaannya sendiri ketika menjadi Raja di Yogyakarta," Yoko mengisahkan.

Dahulu, Yogyakarta adalah wilayah alas atau hutan. Ada tiga hutan utama, yaitu Alas Beringan, Garsito Wati, dan Mentauk.Konsep dasarnya terpengaruh pada kebudayaan Hindu yang dipakai pula pada pewayangan. "Sebuah kerajaan itu seharusnya menghadap pada sebuah gunung yang tinggi, membelakangi laut yang luas, kirinya persawahanan, sebelah kanannya adalah pusat perdagangan." Maka dipilihlah lokasi Keraton seperti yang sekarang ini.

Pokok utama yang menjadi dasar pemikiran pembangunan Keraton adalah harmonisasi antara alam, manusia, dan Tuhan. Pengejawantahan realisasi ini adalah poros Pantai Parangkusumo, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu, dan Gunung Merapi.

Panggung Krapyak dibangun berbentuk kotak. Bentuk kotak melambangkan keduniawian. Bulat itu keseimbangan antara sifat keduniawian dan religiositas, yang dilambangkan oleh Tugu (dahulu bernama Tugu Golong-Gilik yang berbentuk silinder dengan bola di puncaknya). Bentuk segitiga itu mengarah seutuhnya pada sifat religius, yang diwakili oleh Gunung Merapi.

Konsep keseimbangan ekologis tersebut menjadi fondasi pembangunan Yogyakarta sebagai wilayah. Di awal pembangunan, Alun-alun utara dan selatan itu menjadi wilayah terbuka yang dipenuhi pasir. Di bagian tengah ditumbuhi pohon beringin. Selain untuk pertahanan, "Konsep utamanya adalah untuk konservasi air," jelas Yoko.

Tamansari yang dibangun oleh Mangkubumi juga mempunyai konsep keseimbangan ekologis yang kental. Di sekeliling bangunan utama Taman Sari dulu merupakan genangan air yang dialirkan langsung dari Sungai Code. Untuk bisa mencapai bangunan utama bisa dengan dua cara, yaitu dengan sampan dan berjalan kaki melalui terowongan bawah air. "Maka itu, Bangunan utama Tamansari juga dikenal dengan nama Pulau Cemeti, karena dikelilingi air," papar Yoko.

Karena gempa hebat pada abad ke-19, bangunan tersebut rusak . Orang mulai memasuki wilayah tersebut dan mulai bermukim di sana. Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budayabagian tiga mendeskripsikan bagaimana di suasana di taman tersebut, "Dengan pohon-pohon mewangi, hewan jinak, menciptakan suatu alam yang tenang tenteram, suatu dunia yang hampir seperti dunia dewata."

Konsep penataan harmonis ala Hamengku Buwono I ini mulai rusak ketika pembangunan Benteng Verdeburg dan Loji Kebon (kini dikenal dengan nama Gedung Agung) atas prakarsa Belanda. Salah satu butir Perjanjian Giyanti adalah mendirikan markas garnisun di gerbang utama dua Keraton, baik Surakarta maupun Yogyakarta.

Editor : Febrina Syaifullana (@vinna_mooo)

Latest