Follow Us

Yogyakarta: Keseimbangan dalam Pelestarian Budaya

Febrina Syaifullana (@vinna_mooo) - Jumat, 06 September 2013 | 10:00
Yogyakarta Keseimbangan dalam Pelestarian Budaya
Febrina Syaifullana (@vinna_mooo)

Yogyakarta Keseimbangan dalam Pelestarian Budaya

Pada masa Pemerintahan Hamengku Buwono III, konsep tersebut menjadi semakin parah ketika Belanda membangun rel kereta yang memotong poros lurus antara Keraton dan Tugu.

Keseimbangan alam

Perkembangan berikutnya, konsep tata kota Yogyakarta beralih ke Belanda. Mulailah munculasinering (saluran buangan air bawah tanah), dari Jetis, Malioboro, sampai ke Pojok Beteng. Tata kota Yogyakarta mulai menyerupai konsep tata kota lain yang dibangun Belanda, seperti Jakarta dan Surabaya. "Konsep tata kota menjadi Eropa, yang sebetulnya sangat bagus," Yoko menjelaskan.

Jalur transportasi, perdagangan, dan irigasi ditata dengan baik. Jalur kereta api menjangkau hampir semua wilayah Yogyakarta. "Bahkan dulu ada trem," kata Yoko.

Sebagai kota modern yang mempunyai peninggalan budaya kaya, Yogyakarta memikul beban berat. Menurut Ikaputra PhD, pakar tata wilayah dari Universitas Gadjah Mada, pembangunan kota itu harus berbasis existing atau peninggalan budaya. "Salah satu existing Yogyakarta adalah Keraton. Pembangunan Keraton secara ekologis, diapit oleh dua sungai sehingga meminimalkan terjadinya banjir, itu sudah ideal sekali," papar Ika. Pembangunan Yogyakarta hendaknya tetap berjalandengan tetap berdasar pada morfologi kota, termasuk tata ruang dan tata fungsi awal.

Membicarakan budaya tidak bisa lepas dari faktor alam. Laretna T. Adishakti, Ketua Jogjakarta Heritage Society menegaskan, dalam konteks pelestarian budaya, sebenarnya yang harus dilakukan adalah menjaga keseimbangan alam.

Sita, panggilan Laretna T. Adishakti, mengungkapkan bahwa dari konteks tersebut, pelestarian kebudayaan dan perkembangan perekonomian sudah semetinya berjalan beriringan. "Kita tidak menolak pembangunan mal, misalnya. Tapi harus dibangun di tempat yang tepat, harus memikirkan bangunan lama yang sudah ada di situ dan segala dinamika masyarakatnya, termasuk transportasi," papar Sita.

Seharusnya, lanjut Sita, pelestarian budaya itu bisa dijadikan bisnis. "Yogyakarta bisa berbisnis pelestarian budaya. Orang yang datang ke Yogyakarta, 'kan, karena Yogyakarta yang tempo dulu?" kata Sita.

Yang menjadi prinsip pelestarian budaya, menurut Dosen Arsitektur UGM yang juga menjadi Direktur Badan Pelestarian Pusaka Indonesia ini, adalah pengelolaan perubahan. Berkaitan dengan prinsip tersebut, Ika sepakat dengan alih fungsi bangunan cagar budaya. "Bangunan tua yang telantar, jelek, sebenarnya punya potensi luar biasa untuk dikembangkan," kata Sita. Namun Sita mengingatkan, pengalihfungsian tersebut tetap harus mempertimbangkan adalah keseimbangan antara bisnis dan upaya pelestarian itu sendiri.

Satu lagi yang harus dipertimbangkan adalah masalah nilai. "Misalnya begini; kalau bangunan itu bekas bangunan tentara pelajar, sebaiknya jangan untuk kafe. Ada penghargaan terhadap nilai budaya yang sudah tertanam," Sita mencontohkan. "Bagus jika digunakan sebagai perpustakaan atau museum, misalnya, yang lebih menghasilkan karya," lanjut Sita. "Nah, kalau rumah tinggal mau difungsikan sebagai kafe atau restoran, tidak masalah."

Terkait masalah mempertahankan nilai, Sita juga menyangkan rumah di wilayah Keraton yang dibeli oleh orang di luar trah Keraton. "Sultan HB IX pernah berkata dengan sangat sinis, 'Kok alun-alun saya tidak dibeli sekalian?' Itu orang Jawa kalau ngomong seperti itu, tandanya beliau tidak suka," Sita mengisahkan.

Pengawasan lemah

Editor : iDEA

Latest