Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, mengungkapkan hal tersebut, terkait sengketa propertiantara konsumen dan pengembang apartemen Kemanggisan Residence, PT Mitra Safir Sejahtera (MSS), yang berawal dari putusan pailit pada 28 Februari 2012 silam, kepada Kompas.com, Rabu (19/2/2014).
"Dalam sejumlah kasus, pailit merupakan rekayasa pengembang supaya dapat lari tanggung jawab. Padahal, para pengembang itu wanprestasi, tidak dapat merampungkan pembangunan proyek yang sudah dibeli konsumen," ujar Sudaryatmo tanpa bersedia menyebut kasus tersebut.
Hal senada dikemukakan mantan Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Fuad Zakaria. Menurutnya, pengembang yang berani memailitkan diri sama artinya dengan memainkan kepercayaan konsumen.
"Ini hanya rekayasa. Apalagi yang mengajukan gugatan pailit hanya satu atau dua orang. Mereka inilah yang sebetulnya menikmati keuntungan. Sementara konsumen dirugikan," katanya.
Namun demikian, jika sudah telanjur keluar putusan pailit, lanjut Sudaryatmo, konsumen harus menempuh upaya perdamaian. "Dari sisi kepentingan konsumen, upaya damai jauh lebih baik ketimbangkan menempuh jalur hukum. Kendati summary(hasil perdamaian) tidak sesuai ekspektasi, namun jauh lebih bermanfaat. Karena dalam upaya damai, terdapat ruang negosiasi untuk meningkatkan posisi tawar konsumen," jelasnya.
Untuk sampai pada proses perdamaian pasca-pailit, konsumen harus menyiapkan segala sesuatunya. Termasuk kelengkapan administrasi keuangan, seperti Akta Jual Beli (AJB), dan bukti tanda terima atas pembelian unit-unit apartemen.
"Konsumen yang sudah melakukan penandatanganan AJB berhak atas transfer of title(peralihan hak kepemilikan). Mereka inilah yang memiliki posisi tawar bagus untuk menjalankan proses negosiasi dengan pengembang serta dimediasi oleh kurator," imbuh Sudaryatmo.
Perseteruan antara konsumen dengan PT Bukit Sentul pada tahun 2001 adalah contoh kasus sengketa properti yang berakhir dengan damai. Investor baru perumahan skala kota seluas 3.000 hektar tersebut, bersedia meneruskan pembangunan klaster yang menjadi obyek sengketa.
Sebaliknya, konsumen pun rela membayar sejumlah uang tambahan sesuai nilai tanah dan bangunan terakhir sesuai kesepakatan.
"Kerugian lebih besar dapat diminimalisasi karena perdamaian dan kesepakatan tersebut. Konsumen mendapatkan haknya kembali, pengembang melakukan kewajibannya. Jadi, win-win solution," ucap Sudaryatmo.
Sebelumnya, puluhan orang dari Paguyuban Konsumen Rumah Susun Kemanggisan Residence melakukan aksi unjuk rasa di depan rumah susun sederhana milik (rusunami) tersebut, Rabu (19/2/2014). Calon penghuni rusunami itu bersepakat menggandeng pengacara Yusril Ihza Mahendra untuk menuntaskan status usaha pailit terhadap MSS.
Pengurus Paguyuban Rusunami Kemanggisan Valentino mengatakan, MSS selaku pengembang lama rusun itu tidak membagi harta pailit secara adil. "Kita sebagai konsumen hanya mendapatkan 15 persen saja. Padahal, seluruh konsumen memberi kontribusi paling besar kepada pundi-pundi MSS, yaitu Rp 102 miliar," kata Valentino.