Bekasi, berpeluang menjadi kota metropolitan baru, namun disayangkan, Bekasi sangat dipengaruhi dinamika Jakarta. Celakanya, dinamika di Bekasi sama sekali tidak direncanakan dengan baik dan matang. Motivasi membangun Bekasi pun sudah jauh bergeser.
Demikian pendapat pengamat perkotaan yang juga akademisi dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, kepadaKompas.com, Sabtu (22/2/2014).
"Sebagai kawasan yang terkena dampak dinamika Jakarta yang tidak terencana, Bekasi harus segera berubah sebelum kadung tertimbun banyak masalah," ujarnya.
Nantinya, bila sudah berubah, sebagai metropolitan baru, pihak pengelolanya juga harus bekerja sama dengan para pemangku kepentingan di daerah tersebut. Jangan sampai, para pengelola mempertahankan etos kerja yang sekarang.
Yayat bercerita, Bekasi sejatinya memiliki tanah berkualitas baik dan karakter dataran rendah yang mendukung. Itulah mengapa, sejak awal Bekasi direncanakan sebagai lumbung padinasional. Hingga kini, kita pun masih bisa menemukan bekas saluran irigasi yang kemudian justru digunakan sebagai saluran drainase seiring dengan pertumbuhan jumlah permukiman.
Pada masa-masa awal pembangunan, Bekasi tumbuh tanpa rencana. Penduduknya menyebar dalam polaurban sprawl. Daerah yang semula ingin dijadikan sebagai lumbung padi justru berkembang sebagai hunian padat. Ketika curah hujan dan debitairsungai tinggi, daerah ini mudah terendam.
Karena tidak terencana itulah kemudian pertumbuhan Bekasi lebih mengarah kepadadormitorytownatau kota asrama. Penduduknya hanya berada di kawasan ini untuk tidur, sementara kegiatan dan orientasi harianny berpusat di Jakarta.
"Perkembangan Bekasi sangat pesat. Seluruh kawasan telah berubah menjadi hunian, menggerus ruang terbuka hijau. Akibatnya, Bekasi berkembang tanpa kendali. Tata ruang tidak jelas. Pembangunan terjadi mengikuti tren dan arah investasi pengembang serta pemilik modal. Semua berlomba membangun di mulut pintu tol. Bagaimana tidak macet?," ungkapnya.
Lantas, bagaimana membuat Bekasi menjadi metropolitan baru?
Menurut Yayat, wilayah timur Jakarta kini sudah mengalami kesulitan. Masalah klasik yang harus mereka selesaikan pasti berhubungan dengan kepadatan penduduk, bencana banjir, dan kemacetan. Jika ingin menata Bekasi, mau tidak mau harus membangun secaravertikal. Kemudian, membangun pula sistem transportasinya.
"Letak stasiun tidak berada pada jalur utama. Penataan stasiun Bekasi harus terintegrasi dengan angkuta umumnya," ujar Yayat. Selama ini, pengaturan transportasi umum justru lebih mengarahkan penduduk pada penggunaan kendaraan pribadi dan jalan tol.
Untuk itu, tidak hanya sekadar berencana, Bekasi perlu mengambil langkah tegas. Kota ini bisa cepat berkembang jika pembangunan dan keuntungannya berpusat di kota tersebut. Keuntungan serta penarikan pajak dari perusahaan-perusahaan yang membuka pabriknya di Bekasi seharusnya bisa digunakan untuk membangun, bukan "lari" ke Jakarta, semata-mata karena letak alamat kantor pusat perusahaan berada di sana.
Tinggal dan bekerja di Bekasi
Yayat mengakui bahwa pesona Bekasi tidak semenarik Puncak atau Bogor. Namun, dengan sedikit kreativitas, sebenarnya Bekasi bisa membuat citra dan daya tarik baru. Alasan pertama yang membuat orang-orang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta, yaitu kedekatan. Alasan ini juga bisa digunakan untuk membuat penduduk tetap tinggal dan bekerja di Bekasi.
Yayat mencontohkan, ketika sarana transportasi publik sudah saling terintegrasi, kemudian perusahaan-perusahaan industri menempatkan kantor pusatnya di lokasi yang sama dengan pabrik, akan ada lebih banyak orang tinggal di Bekasi, baik siang maupun malam.
Dengan tersedianya sekolah dan universitas berkualitas, rumah sakit, serta pusat hiburan menarik di Bekasi, penduduknya tidak lagi menemukan alasan untuk meninggalkan kota tersebut. Apalagi, jika UMP yang ditawarkan di Bekasi tidak jauh berbeda dari Jakarta. Atas alasan kemudahan, penduduk Bekasi tentu akan memilih bekerja di lokasi dekat rumah.
Foto: www.bumn.go.id
Sumber: Kompas.com