Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Pertikaian Rumah Susun Berawal dari Aspek Hukum

Maulina Kadiranti - Sabtu, 01 Maret 2014 | 10:00
Pertikaian Rumah Susun Berawal dari Aspek Hukum
Maulina Kadiranti

Pertikaian Rumah Susun Berawal dari Aspek Hukum

Kisruh pengelolaan apartemenyang masih terjadi hingga saat ini disebabkan kurangnya sosialisasi hukum yang mengatur hak dan kewajiban penghuni, pemilik, pengembang dan badan pengelola. Peristiwa itu terjadi setelah tiga bulan serah terima kunci pada seluruh unit apartemen.

Tentu saja, seandainya pihak-pihak yang terlibat pertikaian memahami dengan benar regulasi apartemen (rumah susun), maka masalah-masalah seperti dualisme perhimpunan penghuni dan pengelolaan apartemen tidak akan terjadi. Demikian diungkapkan pengamat hukum properti Erwin Kallo pada diskusi "Menyoal Pasal-pasal Kontroversial Undang-undang Rumah Susun", di Jakarta, Kamis (27/2/2014).

"Kurangnya sosialisasi aturan hukum, mengakibatkan terciptanya kekeliruan persepsi di kalangan masyarakat. Pengembang selalu dianggap dalam posisi salah, dan pemilik atau penghuni selalu dianggap dalam posisi benar. Padahal, belum tentu seperti itu," urai Erwin.

Demikian pula halnya dalam pembentukan badan pengelola atau Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun (P3RS). Sepanjang pengembang memiliki unit dalam jumlah tertentu, apalagi melebihi unit yang dimiliki pemilik lainnya, maka pengembang punya suara dan berhak melakukan intervensi dalam memutuskan pembentukan P3RS.

"Setelah pembentukan P3RS secara organisatoris, tentunya dilanjutkan dengan penetapan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Bila AD/ART ini disepakati, maka sifatnya mengikat semua pihak yang sepakat," kata Erwin.

Masalahnya, regulasi rumah susun yang baru yakni UU Nomor 20 Tahun 2011 masih mengandung sejumlah pasal kontroversial. Erwin mengatakan, UU baru ini dibuat oleh mereka yang tidak memahami persoalan aktual menyangkut rumah susun.

"Jadi, banyak area abu-abu yang membingungkan sehingga timbul persoalan berlarut-larut seperti pembentukan P3RS ini," tambah Erwin.

Celakanya, sejak lahir hingga sekarang, konstitusi itu belum diikuti Peraturan Pemerintah (PP) baru. Dengan demikian, aktivitas pengelolaan rumah susun saat ini masih mengacu kepada PP Nomor 4 Tahun 1988.

Menurut pengamat rumah susun, Sujoko, di dalam PP terdapat penjabaran pelaksanaan penyediaan, dan pengelolaan rumah susun lengkap dengan aspek teknis, yuridis dan politis. "Padahal, semestinya PP dibuat setahun setelah UU lahir," katanya.

Adapun pasal-pasal kontroversial dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 antara lain, pasal 50 mengenai pemanfaatan rumah susun dilaksanakan sesuai fungsi. Menurut Erwin, pasal 50 ini yang justru membuat "jenis kelamin" rumah susun di Indonesia menjadi rancu; apakah rumah susun milik, rumah susun sewa, atau campur?

"Yang membedakan UU lama dan baru adalah kepemilikan terpisah antara unit dan common area. UU baru berjenis kelamin abu-abu. Kita mengacu pada sistem hukum Perancis di mana kepemilikan rumah susun termasuk dengan tanahnya. Namun, bagaimana kemudian dengan rumah susun sewa, atau rumah susun dinas, apakah kemudian bisa dimiliki?," urai Erwin.

Hal lain yang krusial adalah masalah pembentukan P3RS. Dalam UU disebutkan, pembentukan P3RS dilakukan setelah serah terima. "Ini tidak jelas, serah terima fisik unit atau serah terima secara hukum, dalam arti sertifikat telah diserahkan kepada pemilik. Jika pengertian pertama yang diambil, maka P3RS tidak bisa dibentuk," lanjut Erwin.

Sumber: properti.kompas.com

Tag

Editor : iDEA





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Tag Popular