IDEAonline - Minggu (2/8/2018) bertempat di Kedai Tjikini, Jalan Cikini Raya 17, Jakarta Pusat diadakan diskusi mengenai Friedrich Silaban, seorang arsitek kenamaan Indonesia dekade 50-70an.
Bertajuk 'Belajar dari Arsitek Friedrich Silaban, acara ini menampilkan Setiadi Sopandi sebagai pembicara.
Sesuai dengan tema acaranya, diskusi ini berbicara mengenai karya karya dari Friedrich Silaban dan relevansinya pada masa kini.
Setiadi Sopandi dan tim mulai tertarik kepada karya dari Friedrich Silaban bermula ketika mereka datang ke kediaman Silaban di Bogor.
Saat itu mereka melihat banyak gambar bangunan karya Silaban, termasuk karya karyanya yang terkenal.
Baca juga:Agar Fasad Putih Tetap Menarik, Coba 3 Tips Ampuh Berikut Ini, Yuk!
Setiadi mengatakan bahwa setidaknya ada 1500 arsip gambar berupa rancangan yang berada di kediaman pribadi Friedrich Silaban.
Sebanyak 500 gambar akhirnya dibuat menjadi sebuah buku berjudul Friedrich Silaban.
Tidak mudah membuat arsip gambar tersebut menjadi sebuah buku.
Karena gambarnya sudah dimakan usia, bahkan Setiadi menyebutnya seperti "kerupuk".
Baca juga:Yuk Intip Arsitektur Warisan Yunani, Megah dan Berpengaruh Banget!
Banyak gambar dari rancangan tersebut merupakan bangunan simbolis Indonesia seperti Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, Kantor Bank Indonesia, Gedung Pola bahkan gedung Institut Pertanian Bogor.
Almarhum Friedrich Silaban adalah arsitek kesayangan Soekarno.
Terutama saat Soekarno menasionalkan Indonesia dengan cara memulangkan para pekerja Belanda kembali ke negaranya, termasuk para arsitek yang merupakan ujung tombak pembangunan.
Saat inilah akhirnya arsitek Indonesia mulai mendapat kesempatan untuk memamerkan keahliannya.
Tidak hanya sekedar membantu arsitek Belanda namun juga menjadi tokoh utama di bidang arsitektur.
Baca juga:Tempat Tidur Unik untuk Rumah Mungil, Cocok untuk Millennial!
Nama Friedrich Silaban semakin dikenal berkat kemenangannya dalam 3 kompetisi sekaligus yang diselenggarakan pemerintah.
Ketiga kompetisi itu adalah rancangan gedung bank sentral, kompetisi tugu nasional dan kompetisi masjid nasional.
Ketiganya diwujudkan berupa bangunan Masjid Istiqlal, gedung Bank Indonesia dan Monumen Nasional atau Monas.
Di penghujung diskusi, Septiadi juga ingin membahas mengenai dunia arsitektur Indonesia sebelum demokrasi terpimpin, baik dari segi bangunannya, maupun arsitek yang terlibat. (*)
Baca juga : Sebelum Meninggal 21 Tahun Lalu, Putri Diana Pernah Tinggal di Rumah Ini