Mother Earth and Architecture, Pameran Pengembangan dan Konservasi Budaya Suku Dayak Iban di Sungai Utik

Jumat, 06 Desember 2019 | 15:25
Dok. Yori Antar-Han Awal & Partners

Rumah Panjang, tempat warga bersosialisasi, tradisi lokal yang pantas dilestarikan.

IDEAOnline-“DNA kita adalah keragaman. Kekayaan budaya harus bisa dibawa ke masa kini dan ke masa depan.”

Yori Antar, Founder Rumah Asuh dan Principal Han Awal & Partner, mengungkapkan ini saat membuka acara talkshow pemaparan program pameran Mother Earth & Architecture yang diselenggarakan pada 28 November – 7 Desember 2019 dalam rangka Bintaro Design District 2019, di kantor Han Awal & Partners.

Mother Earth & Architecture, On the Careof Our Common Home Through Architecture, adalah pameran dan instalasi desain yang banyak bercerita tentang kehidupan suku Dayak Iban di Sungai Utik, Kalimantan Barat.

Baca Juga: Sebelum Mampir Ke Bintaro Design District 2019, Tilik Dulu Fakta-fakta Berikut Ini!

Baca Juga: Dayak Melihat Dunia: Kearifan Lokal Masyarakat Sungai Utik KalBar Berbuah Equator Prize Award dari PBB

Erly

Yori Antar, tim Rumah Asuh, Principal Han Awal & Partners.

Keunikan dan kebijaksanaan masyarakat di Sungai Utik ini untuk hidup berdampingan dengan alam, berjuang melestarikan alam budayanya sampai hari ini, telah menginspirasi Yayasan Widya Cahaya Nusantara (YWCaN) untuk melakukan pendampingan.

Dalam waktu dekat akan ada pembangunan rumah budaya yang diharapkan juga menjadi satu langkah maju untuk pengembangan dan konservasi budaya suku Dayak Iban di Sungai Utik ini.

Baca Juga: Wow, 12 Desainer Interior Top Indonesia Kolaborasi Mengangkat Budaya Lokal, Ini Karyanya!

Dok. Yori antar- Han Awal & Partners

Rancangan desain Rumah Budaya dengan konsep bottom up libatkan masyarakat lokal.

Selain Rumah Budaya, juga akan dibangun rumah ibadah gereja Katholik yang dirancang dengan menggali nilai-nilai masyarakat setempat.

Rumah Budaya dan gereja ini akan diwujudkan dengan desain rancangan dari Yori Antar, tim Rumah Asuh, dan Han Awal & Patners, yang selama ini, sudah beberapa tahun bergerak menjaga kearifan arsitektur nusantara di tempatnya masing-masing.

Apa yang diupayakan bukan hanya membangun replika demi replika tapi juga menghidupkan setiap budaya di lokasinya masing-masing dengan kesadaran masyarakatnya.

Dua bangunan inilah yang menjadi highlight dari pameran Mother Eart & Architekture yang diisi dengan rangkaian program acara di anatranya pameran instalasi desain, talkshow, workshop, dan puncak acara “Dayak Melihat Dunia”.

Dok. Yori Antar - Han Awal & Partners

Rancangan desain gereja Katholik dengan arsitektur tradisional dan filosofi masyarakat setempat.

Di setiap program acara terselip cerita dan pesan bahwa Indonesia adalah pusat kebudayaan.

Ketika bangsa lain memiliki budaya yang seragam, maka keragaman budaya di Indonesia menjadi keunikan dan keunggulan.

Baca Juga: Jokowi Ingin Ekspor Furnitur dan Kerajinan Lokal Tumbuh Dua Digit

Erly

Musik dan budaya, kerajinan masyarakat suku Dayak Iban dilestarikan dan dikembangkan.

Pameran ini adalah juga sebuah upaya mengubah pola pikir tentang kelokalan dan tradisi.

“Tradisi ini bukan masa lalu. Selalu orang-orang bilang, tradisi itu adalah peninggalan zaman lalu, zaman kebodohan, atau paling jahat peninggalan zaman kegelapan. Selau distempel seperti itu,” ungkap Yori dengan ekspresi yang menggambarkan kegemasan sekaligus keprihatinan mendalam.

“Harus ada perubahan pola pikir bahwa tradisi bukan masa lalu, tetapi adalah masa kini dan masa depan. Kita harus bisa menciptakan tarian dan lagu kita sendiri, dan biarlah orang lain terinspirasi,” lanjutnya.

Keinginan untuk memberdayakan masyarakat lokal di Sungai Utik atas kekayaan budayanya, diwujudkan dalam pembangunan Rumah Budaya ini.

“Rumah Budaya, berisi tempat pemberdayaan masyarakat, masyarakat (yang ahli) ukir, menganyam, dan bisa jadi galeri budaya. Juga akan menjadi tempat para turis datang. Disediakan juga fasilitas menginap di sana,” tambah Yori yang sangat ingin masyarakat lokal tak hanya jadi penonton tetapi mendapat manfaat dari kekayaan daerahnya.

Seperti diketahui, komunitas adat Dayak Iban dari Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat, September lalu dianugerahi penghargaan Equator Prize 2019, di pekan sidang majelis umum PBB di New York.

Penghargaan ini diperoleh atas keberhasilan mereka menjaga lebih dari 9 ribu hektar hutan yang menjadi tempat tinggal mereka dari penebangan hutan illegal dan industri kelapa sawit, serta kepentingan korporat lainnya.

Baca Juga: Tribute to Andra Matin, Budi Pradono, dan Yori Antar dari Le Chateau & Brizo

(*)

Tag

Editor : Maulina Kadiranti