Lahan Gambut Berpotensi Turunkan Emisi Karbon, Kurangi Dampak Pemanasan Global bagi Lingkungan

Sabtu, 01 Mei 2021 | 16:00
Kompas.com

Ilustrasi lahan gambut.

IDEAOnline-Masalah lingkungan menjadi permasalahan universal yang setiap negara mengalaminya.

Dampak buruk kerusakan lingkungan mengancam seluruh penduduk bumi.

Inovasi strategis untuk menahan laju kenaikan suhu global terus dikembangkan supaya dapat mencegah dampak perubahan iklim yang fatal bagi peradaban.

Setelah Perjanjian Paris yang mengikat komitmen warga dunia untuk menurunkan kadar emisi global pada 2015, sebanyak 40 negara perwakilan dari seluruh dunia kembali memperbarui komitmennya dalam Leaders’ Summit on Climate yang diselenggarakan di Amerika Serikat pada 22-23 April 2021 secara virtual.

Hal tersebut dilakukan karena dampak pemanasan global kini kian terasa.

Baca Juga: Dicap Settingan Biar Lagunya ‘Boom’, Nathalie Holscer Justru Beberkan Tindakan Sule Usai Dirinya Kembali ke Rumah: ‘Salah Nggak Salah, Akang Selalu Minta Maaf’

Baca Juga: Wow! Teknologi Pencahayaan Makin Canggih Saja, Bisa Buka-Tutup Tirai

Kekeringan ekstrem yang melanda Amerika Selatan, kebakaran hutan di Amerika Serikat, banjir bandang di Afrika dan Asia, serta melelehnya ratusan miliar ton es di Greenland dan Antartika hanyalah beberapa di antaranya.

Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terjadi peningkatan bencana ekologis di luar kelaziman dalam 10 tahun terakhir.

Bencana, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan, diperkirakan telah terjadi di 90 persen wilayah Indonesia.

Baca Juga: Tuntutan Bangunan Hijau Diberlakukan di seluruh Dunia, Bagaimana dengan Indonesia?

Baca Juga: Sering Pamer Kekayaan Ternyata Pekerjaan Aslinya Adalah Seorang Pengasuh Lansia, Rumah Barbie Kumalasari yang Berada di Gang Sempit Malah Jadi Sorotan

Selain berdampak pada terjadinya cuaca ekstrem, pemanasan global juga memberi dampak kepada lingkungan, pertanian, dan kesehatan.

Contohnya nyata, mulai dari kualitas air dan produktivitas pertanian menurun, kepunahan ragam spesies yang mengancam keanekaragaman hayati, serta munculnya berbagai wabah penyakit merupakan dampak lebih lanjut dari perubahan iklim.

Upaya Indonesia Indonesia menargetkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29 persen pada 2030 dengan business as usual atau mencapai 41 persen jika mendapat dukungan internasional.

Kompas.com
Dok. Shutterstock/ Grenfiki Yongki Nugraha

Ilustrasi lahan gambut.

Mengutip Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), secara nasional, target penurunan emisi pada 2030 berdasarkan Nationally Determined Contribution (NDC) adalah sebesar 834 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada target unconditional dan sebesar 1.081 juta ton CO2e pada target conditional.

Baca Juga: Warga Tak Puas dengan Gelagat Ibu Wati dalam Video Klarifikasi Babi Ngepet di Depok, Ketua RT: ‘Lingkungan Sekitar Minta Ibu Wati Diusir dari Kampung Sini’

Baca Juga: Apa Itu Dishwasher? Inilah Pertimbangan Saat Ingin Membeli Mesin Cuci Piring 'Sultan'!

Komitmen pemerintah Indonesia dalam menekan emisi karbon dan mitigasi perubahan iklim diwujudkan melalui berbagai strategi inovatif.

Salah satunya dengan mengembangkan Solusi Iklim Alami atau Natural Climate Solutions (NCS).

Berdasarkan publikasi di pnas.org, penelitian ilmiah Bronson Griscom dan kawan-kawan pada 2017 bertajuk “Nature Climate Solution” menyimpulkan bahwa Solusi Iklim Alami merupakan strategi yang inovatif dan efektif secara biaya.

Solusi Iklim Alami merupakan serangkaian upaya mitigasi berbasis sumber daya alam yang mencakup perlindungan hutan dan lahan basah, perbaikan pengelolaan hutan, serta restorasi ekosistem hutan, gambut, dan mangrove.

Solusi tersebut memiliki potensi untuk memberikan kontribusi hingga 90 persen dari target Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia jika diimplementasikan secara optimal.

Dengan potensi setinggi itu, Indonesia pun optimistis dapat mencapai target penurunan emisi nasional pada 2030.

Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) telah melakukan riset menggunakan pendekatan Solusi Iklim Alami.

Tujuannya, untuk menghitung potensi maksimum penurunan emisi dan analisis biaya dari delapan strategi solusi iklim alami yang dipilih.

Riset tersebut dilakukan dengan menggunakan baseline data tingkat nasional atau provinsi selama sepuluh tahun terakhir dan data faktor emisi yang dibangun dari hasil meta-analisis berdasarkan kumpulan studi terkait di Indonesia.

Dari data-data tersebut, potensi penyerapan atau pelepasan karbon dari masing-masing ekosistem dan strategi dapat diperkirakan.

Baca Juga: Dicap Settingan Biar Lagunya ‘Boom’, Nathalie Holscer Justru Beberkan Tindakan Sule Usai Dirinya Kembali ke Rumah: ‘Salah Nggak Salah, Akang Selalu Minta Maaf’

Baca Juga: Apa Itu Dishwasher? Inilah Pertimbangan Saat Ingin Membeli Mesin Cuci Piring 'Sultan'!

Untuk diketahui, pendekatan Solusi Iklim Alami di Indonesia mencakup delapan strategi, yaitu pencegahan konversi hutan, reforestasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, pencegahan dekomposisi gambut dan hilangnya vegetasi akibat perubahan hutan gambut, pembasahan kembali lahan gambut yang terdegradasi, pencegahan kebakaran gambut, pencegahan kerusakan ekosistem mangrove, dan restorasi ekosistem mangrove.

Berdasarkan perhitungan, potensi penurunan emisi di Indonesia dari NCS adalah sebesar 1,47 gigaton CO2e per tahun.

Rinciannya, potensi dari ekosistem mangrove berkontribusi sebesar 3 persen, sektor kehutanan 30 persen, dan gambut 67 persen.

Dalam penghitungan emisi, dua parameter penting tercakup di dalamnya, yaitu data aktivitas atau potensi luas arealnya dan faktor emisi atau flux.

“Dua parameter ini yang menentukan seberapa besar serapan karbon jika program restorasi atau rewetting dilakukan atau berapa emisi yang dirilis ke atmosfer ketika suatu areal hutan mengalami perubahan tutupan lahan atau terjadinya kebakaran,” ujar Forest Carbon and Climate Specialist Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Nisa Novita seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (20/4/2021).

Gambut sebagai salah satu prioritas Indonesia Indonesia sendiri memiliki lahan gambut seluas 15 juta hektare.

Dengan lahan seluas itu, simpanan karbon lahan gambut Indonesia setara dengan 84 persen karbon gambut di seluruh Asia Tenggara.

Kendati demikian, tingginya tingkat konversi lahan gambut mengubah potensi gambut sebagai penyerap karbon menjadi pelebas karbon.

Lahan gambut di Indonesia kerap digunakan untuk berbagai kegiatan perkebunan dan hutan tanaman industri, seperti sawit, akasia, atau karet.

Saat hendak dialih fungsi, lahan gambut perlu dikeringkan.

Hal ini menimbulkan bahaya.

Sebab, lahan gambut yang dikeringkan akan membuatnya mudah terbakar dan melepaskan karbon secara terus-menerus sehingga meningkatkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer.

Dalam berbagai kasus, nyatanya manusia justru mengubah gambut yang berfungsi sebagai penyerap karbon menjadi pelepas karbon.

Baca Juga: Green Building Solusi Cerdas Ciptakan Rumah Sehat, Ini 8 Aplikasinya

Kompas.com
Kompas.com

Ilustrasi lahan gambut.

Berdasarkan perhitungan NCS, restorasi dan pencegahan dampak gambut berpotensi mengurangi emisi hingga 1.000 megaton CO2e per tahun.

“Kami melihat lahan gambut berpotensi paling besar dalam penurunan emisi dibandingkan ekosistem lain. Maka dari itu, kami menelaah lebih lanjut dan melihat ada empat strategi mitigasi iklim di lahan gambut,” ujar Nisa.

Baca Juga: Awas Mesin Cuci Front Loading Lebih Rawan Jamur, Tips Membersihkan

Baca Juga: Menengok Tradisi Mengirim Hamper di Hari Raya, Awalnya dari Eropa

Dijelaskan oleh Nisa, empat langkah mitigasi tersebut mencakup pencegahan hilangnya vegetasi karena deforestasi hutan, pencegahan emisi dari kebakaran gambut, pencegahan dekomposisi gambut, dan rewetting atau pembahasan kembali gambut yang terdegradasi.

Program restorasi ini biasanya juga diikuti dengan penanaman kembali pohon-pohon endemik gambut atau tanaman yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

“Kami menghitung berapa potensi emisi yang terjadi pada dekomposisi gambut jika terjadi gangguan, baik itu deforestasi, degradasi, kebakaran, dan juga jika dilakukan perbaikan pengaturan hidrologi gambut melalui rewetting,” kata Nisa.

Dari hasil kajian YKAN, tambah Nisa, pencegahan kerusakan lahan gambut dari alih fungsi hutan, dekomposisi, dan kebakaran memiliki potensi penurunan emisi yang jauh lebih tinggi dibandingkan penurunan emisi dari rewetting.

Dengan kata lain, restorasi gambut memang merupakan langkah penting sebagai upaya perbaikan gambut yang sudah terdegradasi.

Meski demikian, jangan lupa perlindungan ekosistem gambut jauh lebih penting dari segi potensi penurunan emisi.

Pasalnya, sekali gambut dirusak atau dikeringkan, emisi akan terus dihasilkan kecuali ekosistem ini direstorasi menjadi kondisi yang mendekati ekosistem gambut alami.

“Meski hanya mencakup 3 persen dari wilayah daratan bumi, lahan gambut tropis menyimpan sepertiga total karbon dunia. Melestarikan dan melindungi gambut dapat menjadi langkah efektif untuk mitigasi perubahan iklim dan menyelamatkan keberlangsungan peradaban manusia di masa depan,” jelas Nisa. Artikel ini telah tayang di Kompas.comdengan judul Bantu Penurunan Emisi Karbon, Inilah Potensi Penting dari Lahan Gambut

#BerbagiIDEA

Tag

Editor : Maulina Kadiranti

Sumber kompas