IDEAOnline-Mencoba mendefinisikan standar baru furnitur untuk kaum urban.
Berbagai merek retail furnitur yang banyak ditawarkan.
Sebagian besar merek ternama mencoba menjadi populis.
Sebut saja Kare furniture.
“Berusaha untuk merespons keunikan individu melalui pengadopsian gaya hidup melalui desain,” kata Peter Schonhofen, pemilik Kare.
Jakarta hanyalah salah satu cabang Kare, yang tersebar di 60 negara. Setiap negara mempunyai kultur yang berbeda.
“Keunikan bisa menjadi keunggulan produk. Keunikan juga bisa membuat jarak. Idealnya, pengertian unik yang terjangkau tidak hanya dari segi harga, tapi juga kedekatan emosi pada kultur masyarakat setempat,” kata Sarah Ginting, arsitek.
Baca Juga: Furnitur Modular Cocok untuk Yang Gampang Bosan, seperti Apa?
Bagaimana konsumen memilih furnitur?
“Membutuhkan ‘ritme’ sendiri untuk memilih. Ada yang murah, kualitas seadanya. Harga tinggi, belum tentu desainnya cocok,” kata Charles (21), penghuni Central Park Apartemen, Jakarta.
Lain lagi dengan Louise (29), karyawati swasta, yang rajin berburu furnitur diskon.
“Saya bisa mendapat satu set furnitur murah karena mendapat info program, seperti midnight sale,” katanya.
Nama besar tak jadi jaminan.
Kasus ketidaksesuaian spesifikasi bahan salah satu merek furnitur ternama dari Italia, bisa jadi cerminan.
“Kualitas harus dijaga, baik dari segi produk maupun layanan purna jual. Produk menarik bisa efektif terjual dengan cara yang menarik. Bobot merek digiring oleh banyak aspek,” kata Nisa, staf Transmart Indonesia.
Baca Juga: Furnitur Lipat di Rumah Mungil, Fleksibel, Efisien, dan Hemat Ruang
Indonesia adalah pasar yang unik.
Contohnya, fenomena persaingan gadget komunikasi.
“Konsumen Indonesia tergugah emosinya bila terkait soal harga dan tren,” kata Prita Wardhani, staf Informa Indonesia.
Menjadi populer sekaligus populis merupakan tantangan tersendiri.
Mengingat suku di Indonesia beranekaragam dan luas wilayahnya sebanding dengan Eropa Barat dan Amerika Serikat (Geografi Indonesia, Ch. Usman).
Untuk jadi populis, semboyan “unity in diversity” bisa jadi inspirasi.
Jika diversity (keanekaragaman) sudah ada, bagaimana unity (kesatuan)-nya?
Barangkali bisa dimulai dari pengolahan definisi “harga+kualitas+gaya hidup” kaum urban di setiap ibukota 33 propinsi Indonesia.
Di dalamnya termasuk mempelajari budaya dan pemanfaatan bahan baku lokal.
Baca Juga: Desain Furnitur Kantor Pasca Pandemi, Terapkan di Rumah Dukung WFH
#berbagiIDEA