IDEAOnline-Istilah hijau masih sulit didefinisikan, apalagi jika dikorelasikan dengan arsitektur.
Ironisnya, istilah itu malah digunakan secara berlebihan untuk memperkenalkan dan menjual proyek-proyek baru.
Dalam artikel berjudul "Architecture in Tune With the Climate", New York Times menulis bahwamengorelasikan proyek dengan istilah hijau mampu membuat sebuah proyek laku di pasaran.
Tak heran, hal itu semakin sering dilakukan. Termasuk di Indonesia.
Perkantoran, apartemen, bahkan pusat-pusat perbelanjaan di Tanah Air diklaim mengadopsi konsep-konsep "bangunan hijau" atau green building.
Mulai sekadar menyiapkan taman dan tanaman dalam jumlah besar, hingga benar-benar berusaha menghemat energi, mendaur ulang sumber daya, atau menggunakan material ramah lingkungan dilakukan demi mencapai kata hijau tersebut.
Sebenarnya, ada tolok ukur yang bisa dijadikan patokan dalam membangun dan menilai "bangunan hijau".
Di Indonesia, patokan tersebut ditetapkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI).
Ada enam kriteria agar sebuah bangunan bisa disebut sebagai green buildingyakni,tata guna lahan, efisiensi energi, konservasi air, bahan ramah lingkungan, kualitas udara (indoor quality), dan managemen sampah.
Baca Juga: Bagaimana Konsep Ramah Lingkungan pada Material, Ini Kriterianya!