Berbagai ujian telah mereka alami dalam upaya menjaga kelestraian alam dan budaya mereka.
Baca Juga: Tribute to Andra Matin, Budi Pradono, dan Yori Antar dari Le Chateau & Brizo
“Waktu marak illegal logging, kami punya sikap, bukannya tidak mau uang , namun kami tidak mau menggadaikan wilayah adat kami. Tidak mau bertaruh, hanya demi uang tapi kami jadi bermusuhan dengan alam yang memberi kehidupan kepada kami. Tidak mau durhaka kepada alam, karena suatu saat alam akan membalas balik jika kami berani mengkhianati atau mempropagandakannya,” penuh semangat Raymundus Remang menyampaikan ini.
Lebih lanjut dikisahkannya, masyarakat Sungai Utik punya prinsip tidak mau kehilangan tanah mereka.
Tanah, menurut filosofi di masyarakat ini adalah simbol seorang ibu.
“Itu yang membuat bagi kami, tanah punya nilai besar. Bagaimana nasib sang anak kalau sudah tidak ada tanah (ibu), ke mana anak-anak harus menyusu,” tambah Raymundus memberikan analogi.
Baca Juga: Wow, 12 Desainer Interior Top Indonesia Kolaborasi Mengangkat Budaya Lokal, Ini Karyanya!
Lantas, soal hutan, kehidupan masyarakat di Sungai Utik 80% nya dijalani di hutan. Setiap hari mencari nafkah di hutan.
“Hutan bagi kami simbol seorang bapak. terbayang kan bagaimana kelangsungan hidup anak jika tidak ada lagi seorang bapak,” jelasnya.
Terakhir soal sungai, yang merupakan simbol dari darah yang mengalir dan menghidupi masyarakat di Dayak Iban ini.