Pertama, Ombudsman menilai kondisi yang berbeda di Blok Bravo dan Blok Alfa.
Adrianus menyoroti pengisian sel di kedua blok dengan jumlah narapidana yang berbeda.
"Sekarang kita semua berpendapat bahwa kok seperti keistimewaan ya. Apa bedanya dengan yang lain? Kalau memang yang lain satu sel ramai-ramai kenapa napi tipikor dibedakan?" ujar Adrianus.
Adrianus meminta pengelola Lapas Cibinong dan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham harus bisa menjelaskan kondisi ini.
Paling tidak, harus ada penjelasan soal pertimbangan pengisian sel.
"Perlu memberikan judgement yang rasional kepada kita semua, kenapa kepada napi tipikor diberi perlakuan berbeda. Apakah memang dalam rangka memenuhi standar atau dalam rangka kebiasaan sejak zaman dulu," tegas dia.
Temuan kedua, di Lapas Cibinong terdapat Klinik Kesehatan tingkat pratama. Berdasarkan temuan Ombudsman, ada lima dokter yang terdiri dari tiga dokter umum dan dua dokter spesialis yang bekerja di klinik ini.
Adrianus membandingkan kondisi ini dengan keadaan di Lapas Nusakambangan yang hanya memiliki tiga dokter untuk jumlah narapidana yang banyak.
Kemudian, Ombudsman mengkritisi status izin klinik yang ada di Lapas Cibinong.
"Klinik beroperasi dengan izin komersial. Sepertinya pemberian izin ini oleh Pemda setempat tidak pas. Secara nature, ini (klinik di lapas) adalah klinik kedinasan yang tidak ada (sisi) komersialnya sama sekali," ungkapnya.
"Dengan izin komersial dikhawatirkan akan berpotensi untuk dikomersialkan, padahal warga binaan di lapas semestinya mendapat fasilitas kesehatan gratis ya. Atau bisa dibuka nanti untuk umum, dan bayar," lanjut Adrianus.