Follow Us

Jejak Tionghoa dan Arab di Bogor

Maulina Kadiranti - Senin, 04 November 2013 | 04:00
Jejak Tionghoa dan Arab di Bogor
Maulina Kadiranti

Jejak Tionghoa dan Arab di Bogor

Dari Pasar Bogor bergeserlah ke Jalan Suryakencana yang dulu, yakni Jalan Pos (De Groote Postweg) penghubung Bogor-Sukabumi-Cianjur, diubah menjadi Handelstraat lalu Jalan Perniagaan. Di seberang gerbang utama Kebun Raya Bogor atau di awal Suryakencana terdapat Wihara Dhanagun (Kelenteng Hok Tek Bio). Inilah tempat ibadat kedua yang dibangun komunitas Tionghoa setelah Pan Kho Bio.

Pada zaman kolonial, permukiman di Bogor ditata dan disegregasi berdasarkan warna kulit agar lebih mudah diatur (Wijkenstelsel 1835-1915). Kawasan di kiri kanan Handelstraat di antara Ciliwung dan Cipakancilan untuk komunitas Tionghoa. Diduga, karena kebijakan inilah sebagian komunitas Tionghoa berpindah dari Pulogeulis ke Handelstraat. Di Suryakencana, bangunan rumah toko berderet rapat, tidak atau sedikit halaman, berlantai satu, dua, atau tiga, dan berarsitektur Tionghoa atau Indis.

Menurut Mardi Liem, wihara di utara ibarat kepala naga, sedangkan deretan bangunan di Suryakencana ialah badan naga. Selepas Wijkenstelsel, kalangan pribumi dan pendatang juga bermukim dan bercampur dengan komunitas Tionghoa di kawasan Suryakencana. Kebijakan diskriminatif Orde Baru yang menekan komunitas Tionghoa membuat sejumlah bangunan berarsitektur Tionghoa dan Indis dibongkar menjadi bangunan modern. Namun, masih ada sejumlah bangunan tua, cukup terawat, dan menjadi benda cagar budaya, seperti rumah Kapitan Tan, rumah keluarga Thung, rumah abu keluarga Thung, dan toko roti Tan Ek Tjoan.

Kawasan Tionghoa bukan sekadar Suryakencana. Tengok kawasan Jalan Roda, Gang Aut, Jalan Pedati, Jalan Ranggagading, dan Jalan Lawangsaketeng di sekitar Suryakencana. Di kawasan perniagaan ini dijual aneka komoditas, makanan-minuman (tradisional atau modern), obat, kosmetik, pakaian, kendaraan, buku, dan cendera mata khas atau keperluan peribadatan bagi komunitas Tionghoa.

Di Lawangsaketeng ada deretan toko yang menjual hasil bumi, terutama ikan asin dan hasil laut yang dikeringkan. Lawangsaketeng diduga sudah ada sejak Pakwan Pajajaran yang berarti gerbang dilipat yang dijaga di luar dan dalam.Arab Empang

Berada di bagian lembah antara Cipakancilan dan Cisadane ada kawasan Arab yang terbentuk seperti kawasan Tionghoa karena kebijakan Wijkenstelsel 1835-1915. Namun, sebelum menjadi kawasan Arab dan bernama Empang, daerah ini bernama Soekaati (Sukahati). Di sinilah pusat pemerintahan Kampung Baru sekaligus cikal bakal Kabupaten Bogor.

Menurut budayawan Arab Bogor, Adenan Taufik, sebutan Empang muncul karena Bupati Kampung Baru Demang Wiranata (1749-1758) membuat kolam ikan di halaman pendapa (kini alun-alun). Lama-kelamaan kawasan itu identik dengan sebutan Empang dan menenggelamkan nama Soekaati.

Alun-alun, lanjut Adenan, diduga sudah ada sejak zaman Pakuan Pajajaran. Kala itu, alun-alun merupakan tempat hukuman picis (penyiksaan) terhadap penjahat yang dipertontonkan ke masyarakat agar kejahatan tidak ditiru. Kini, alun-alun itu tidak ubahnya lapangan berumput bergelombang, tidak terawat, dan jadi lahan parkir kendaraan. Di sekelilingnya terdapat tembok berikut kios pedagang makanan dan minuman. Pada saat hari raya menjadi pasar kambing.

Di sekitar alun-alun berderet toko perlengkapan ibadah, yakni peci, sorban, sajadah, tasbih, sarung, parfum, rebana, dan kurma. Ada juga rumah makan khas yang menyediakan menu nasi kebuli, gulai, sop, sate kambing, serta kue khas, yakni kamir, ka'at, dan manom.

Sejumlah bangunan tua yang bisa dilihat di Empang, antara lain, Masjid An Nur, Masjid Agung Empang, Makam Habib Abdullah bin Mukhsin Al Attas, bekas rumah Bupati Kampung Baru, rumah Kapitan Arab, makam keluarga Dalem Shalawat, dan Bendungan Empang. Di sini juga ada makam Raden Saleh Sjarif Bustaman, maestro seni lukis era kolonial.

Sisa-sisa bangunan khas komunitas Tionghoa dan Arab sudah tinggal sedikit dan tidak semua berdiri di lanskap yang enak dilihat. Bangunan antik, tua, dan yang zaman dulu amat terkenal malah berada di lingkungan yang amburadul dan tidak terawat. Apakah ini menunjukkan bahwa kita enggan menjadikan Bogor seperti masa Buitenzorg? Padahal, di masa lalu itu, kalangan pelancong amat memuja keindahan kota yang kini berpenduduk hampir 1 juta jiwa ini.

Sumber: kompas.com

Editor : iDEA

Latest