"Deep down below us lay a valley of eden," kata Scidmore, pelancong terkenal asal Inggris, tentang keindahan lanskap kaki Gunung Salak seperti tertulis dalam Buitenzorg Kota Terindah di Jawa, Catatan Perjalanan dari Tahun 1860-1930 karya Ahmad Baehaqie. Di lembah inilah terdapat jejak kehidupan beragam bangsa, termasuk Tionghoa dan Arab.
Hingga 1579, hamparan berbukit di kaki Salaka yang diapit Ciliwung dan Cisadane dan dibelah Cipakancilan terdapat Kerajaan Sunda Galuh dengan ibu kota Pakwan Pajajaran.
Sejak 1619, di sedikit sisa reruntuhan akibat pemusnahan oleh Kesultanan Banten, bangsa Eropa, Tionghoa, Arab, dan Sunda (pribumi) terbangun kawasan bernama Buitenzorg. Inilah cikal bakal Kota Bogor.
Seperti pernah diutarakan oleh Scidmore, keindahan Buitenzorg era kolonial amat terkenal di kalangan pelancong Eropa. Namun, Bogor yang sekarang tidak lagi pantas disebut valley of eden. Lingkungan sekarang sudah semrawut dan tak lagi sejuk.
Namun, masih ada sisa-sisa era Buitenzorg yang bisa dinikmati biarpun terancam sirna. Misalnya, kawasan Tionghoa di Babakanpasar dan Gudang, Bogor Tengah, dan kawasan Arab di Empang, Bogor Selatan. Untuk menyusuri kedua kawasan yang berdekatan, sebaiknya dengan berjalan atau bersepeda.
Sedikit melelahkan, tetapi lebih efektif ketimbang terjebak kemacetan dan kesemrawutan akut di kedua kawasan.
Mari awali perjalanan ke Pulogeulis, Babakanpasar. Di delta Ciliwung ini ada Wihara Mahabrahma (Kelenteng Pan Kho Bio) yang dibangun dalam fase 1619-1743. Inilah tempat ibadah tertua komunitas Tionghoa Bogor. Sebelum dihuni oleh orang Sunda, Tionghoa, Arab, dan pendatang yang kemudian berasimilasi, Pulogeulis diduga tempat pemandian putri-putri Pakwan Pajajaran.
Dalam wihara ada yoni, arca Hindu, patung Kwan Im, tempat dupa berbahan logam kuningan, serta batu petilasan Uyut Gebok, Eyang Jayaningrat, Eyang Sakee, Embah Raden Mangun Jaya, Embah Imam, dan Prabu Surya Kencana. Menurut Sekretaris Wihara Mahabrahma, Candra Kusuma, yoni, arca hindu, dan batu petilasan ditemukan sebelum pembangunan kelenteng. Patung Kwan Im dan tempat dupa setelah kelenteng dibangun.
Menurut Candra, wihara ini bukan sekadar tempat ibadat umat Buddha, Konghucu, dan Tao. Tempat ini kerap dikunjungi peziarah Sunda Wiwitan, Hindu, dan Islam. Di sini, pernah ada tradisi pencucian barongsai dengan aliran Ciliwung setiap hari kesembilan (Che Kau) sebelum diarak pada hari ke-15 (Cap Go Mei). Sayang, tradisi ini belum terlaksana lagi karena sungai berbau dan tercemar.
Dari Pulogeulis, mari melanjutkan perjalanan ke samping Pasar Bogor, yakni Jalan Kelenteng dan Jalan Pasar. Di sini ada deretan rumah toko dua lantai berornamen kayu dan kaca patri. Usianya lebih dari seabad, tetapi tidak terawat. Masih ada yang menjual celengan, tembikar, anglo, kendil, kendi, piring, dan gelas dari tanah liat, sandal bakiak, keranjang, pengki, besek, baki, serta bakul dari anyaman bambu.
Di belakang Pasar Bogor ada bekas bangunan Kapitan Tionghoa dan Hotel Passer Baroe yang amat menyedihkan. Kedua bangunan ini tertutup semak; banyak coretan; tempat menaruh gerobak, alat pemarut kelapa, dan kandang ternak; dikotori sampah; genangan berbau kurang sedap; ditambah aroma dari lapak kelapa, daging ayam, sapi, dan ikan.
Padahal, menurut budayawan Tionghoa Bogor, Mardi Liem, Passer Baroe dibangun pada 1873 sezaman dengan Hotel Binnenhof (kini Hotel Salak Heritage) dan Hotel Bellevue (pernah menjadi Pasar Ramayana dan kini Bogor Trade Mall). Binnenhof dan Bellevue dikhususkan bagi orang Eropa, Indo-Eropa, dan golongan yang disetarakan. Passer Baroe menjadi pilihan kaum non-Eropa, antara lain Tionghoa dan Arab. Sesudah masa kemerdekaan sampai 1966, hotel pernah dihuni sejumlah keluarga Angkatan Udara Republik Indonesia.
Dari Pasar Bogor bergeserlah ke Jalan Suryakencana yang dulu, yakni Jalan Pos (De Groote Postweg) penghubung Bogor-Sukabumi-Cianjur, diubah menjadi Handelstraat lalu Jalan Perniagaan. Di seberang gerbang utama Kebun Raya Bogor atau di awal Suryakencana terdapat Wihara Dhanagun (Kelenteng Hok Tek Bio). Inilah tempat ibadat kedua yang dibangun komunitas Tionghoa setelah Pan Kho Bio.
Pada zaman kolonial, permukiman di Bogor ditata dan disegregasi berdasarkan warna kulit agar lebih mudah diatur (Wijkenstelsel 1835-1915). Kawasan di kiri kanan Handelstraat di antara Ciliwung dan Cipakancilan untuk komunitas Tionghoa. Diduga, karena kebijakan inilah sebagian komunitas Tionghoa berpindah dari Pulogeulis ke Handelstraat. Di Suryakencana, bangunan rumah toko berderet rapat, tidak atau sedikit halaman, berlantai satu, dua, atau tiga, dan berarsitektur Tionghoa atau Indis.
Menurut Mardi Liem, wihara di utara ibarat kepala naga, sedangkan deretan bangunan di Suryakencana ialah badan naga. Selepas Wijkenstelsel, kalangan pribumi dan pendatang juga bermukim dan bercampur dengan komunitas Tionghoa di kawasan Suryakencana. Kebijakan diskriminatif Orde Baru yang menekan komunitas Tionghoa membuat sejumlah bangunan berarsitektur Tionghoa dan Indis dibongkar menjadi bangunan modern. Namun, masih ada sejumlah bangunan tua, cukup terawat, dan menjadi benda cagar budaya, seperti rumah Kapitan Tan, rumah keluarga Thung, rumah abu keluarga Thung, dan toko roti Tan Ek Tjoan.
Kawasan Tionghoa bukan sekadar Suryakencana. Tengok kawasan Jalan Roda, Gang Aut, Jalan Pedati, Jalan Ranggagading, dan Jalan Lawangsaketeng di sekitar Suryakencana. Di kawasan perniagaan ini dijual aneka komoditas, makanan-minuman (tradisional atau modern), obat, kosmetik, pakaian, kendaraan, buku, dan cendera mata khas atau keperluan peribadatan bagi komunitas Tionghoa.
Di Lawangsaketeng ada deretan toko yang menjual hasil bumi, terutama ikan asin dan hasil laut yang dikeringkan. Lawangsaketeng diduga sudah ada sejak Pakwan Pajajaran yang berarti gerbang dilipat yang dijaga di luar dan dalam.Arab Empang
Berada di bagian lembah antara Cipakancilan dan Cisadane ada kawasan Arab yang terbentuk seperti kawasan Tionghoa karena kebijakan Wijkenstelsel 1835-1915. Namun, sebelum menjadi kawasan Arab dan bernama Empang, daerah ini bernama Soekaati (Sukahati). Di sinilah pusat pemerintahan Kampung Baru sekaligus cikal bakal Kabupaten Bogor.
Menurut budayawan Arab Bogor, Adenan Taufik, sebutan Empang muncul karena Bupati Kampung Baru Demang Wiranata (1749-1758) membuat kolam ikan di halaman pendapa (kini alun-alun). Lama-kelamaan kawasan itu identik dengan sebutan Empang dan menenggelamkan nama Soekaati.
Alun-alun, lanjut Adenan, diduga sudah ada sejak zaman Pakuan Pajajaran. Kala itu, alun-alun merupakan tempat hukuman picis (penyiksaan) terhadap penjahat yang dipertontonkan ke masyarakat agar kejahatan tidak ditiru. Kini, alun-alun itu tidak ubahnya lapangan berumput bergelombang, tidak terawat, dan jadi lahan parkir kendaraan. Di sekelilingnya terdapat tembok berikut kios pedagang makanan dan minuman. Pada saat hari raya menjadi pasar kambing.
Di sekitar alun-alun berderet toko perlengkapan ibadah, yakni peci, sorban, sajadah, tasbih, sarung, parfum, rebana, dan kurma. Ada juga rumah makan khas yang menyediakan menu nasi kebuli, gulai, sop, sate kambing, serta kue khas, yakni kamir, ka'at, dan manom.
Sejumlah bangunan tua yang bisa dilihat di Empang, antara lain, Masjid An Nur, Masjid Agung Empang, Makam Habib Abdullah bin Mukhsin Al Attas, bekas rumah Bupati Kampung Baru, rumah Kapitan Arab, makam keluarga Dalem Shalawat, dan Bendungan Empang. Di sini juga ada makam Raden Saleh Sjarif Bustaman, maestro seni lukis era kolonial.
Sisa-sisa bangunan khas komunitas Tionghoa dan Arab sudah tinggal sedikit dan tidak semua berdiri di lanskap yang enak dilihat. Bangunan antik, tua, dan yang zaman dulu amat terkenal malah berada di lingkungan yang amburadul dan tidak terawat. Apakah ini menunjukkan bahwa kita enggan menjadikan Bogor seperti masa Buitenzorg? Padahal, di masa lalu itu, kalangan pelancong amat memuja keindahan kota yang kini berpenduduk hampir 1 juta jiwa ini.
Sumber: kompas.com