Follow Us

Selalu Diluar Nalar Manusia, Ini Dia Asal Mula Adanya Arsitektur Dekonstruksi, Unik!

Maulina Kadiranti - Rabu, 13 Januari 2021 | 07:30
Bard College Performing Art Center, karya Frank Gehry.
www.metapedia.com

Bard College Performing Art Center, karya Frank Gehry.

IDEAonline - Bentuknya aneh, tidak beraturan, dan terkesan kacau.

Strukturnya seperti mau runtuh. Tidak jelas mana bagian depan dan belakang.

Itulah bangunan berarsitektur dekonstruksi.

Baca Juga: Ternyata Bangku Panjang yang Sering Diduduki di Taman Miliki Sejarah Unik Lho, Ini Asal-usulnya!

Baca Juga: Sempat Alami Hidup Susah Bahkan Tak Bisa Bayar Sekolah, Atta Halilintar Kini Buktikan dapat Hidup Enak bahkan Miliki Penghasilan Rp 8 Miliar, Begini Isi Rumah Gedongnya

Frank O. Gehry, salah satu pelopor arsitektur dekonstruksi.
www.awdesignlog.blogspot.com

Frank O. Gehry, salah satu pelopor arsitektur dekonstruksi.

Dilihat dari bentuk visual bangunannya, arsitektur dekonstruksi memang terlihat ”aneh”.

Sangat berbeda dengan arsitektur modern, yang serba teratur dan banyak menggunakan bentuk-bentuk geometris dan kotak-kotak sederhana.

Pada dekonstruksi, yang muncul justru kebalikannya.

Bentuknya tidak beraturan, sehingga tidak dapat dipastikan bentuk bangunannya.

Mendobrak Kemonotonan

Dilansir dari Tabloid Rumah 210, Arsitektur dekosntruksi muncul sebagai bentuk penolakan terhadap kaidah dan standar arsitektur modern yang berlaku pada saat itu.

Para arsitek dekonstruksi merasa jenuh terhadap kemonotonan desain yang ada saat itu.

Kondisi itulah yang mengusik para arsitek untuk membuat karya desain yang berbeda.

Dekonstruksi merupakan salah satu jalan keluar yang diambil oleh arsitek untuk keluar dari permasalahan-permasalahan yang timbul dari kejenuhan akan arsitektur modern.

Bangunan dibuat tidak memiliki unsur logis dengan bentuk yang tidak berhubungan satu sama lain, tidak harmonis, dan abstrak.

Pada arsitektur dekonstruksi, yang ditonjolkan adalah geometri 3-D, bukan hasil proyeksi 2-D.

Inilah yang memberi kesan miring dan semrawut pada gaya dekonstruksi.

Baca Juga: Sempat Alami Hidup Susah Bahkan Tak Bisa Bayar Sekolah, Atta Halilintar Kini Buktikan dapat Hidup Enak bahkan Miliki Penghasilan Rp 8 Miliar, Begini Isi Rumah Gedongnya

Baca Juga: Rumahnya Kembali Disantroni Pria Asing, Baim Wong Justru Tawarkan Pekerjaan Unik yang Sulit untuk Dikerjakan, Yakin Berani?

Selain itu, penggunaan warna sebagai aksen juga ditonjolkan, sedangkan penggunaan tekstur kurang berperan.

Bard College Performing Art Center, karya Frank Gehry.
www.metapedia.com

Bard College Performing Art Center, karya Frank Gehry.

Berawal dari Prancis dan Inggris

Nama dekonstruksi secara resmi disebut sebagai sebuah arsitektur baru pada tahun 1988.

Berawal dari sebuah diskusi Academy Forum di Tate Gallery, London.

Kemudian disusul oleh pameran di Museum of Art, New York, 23 Juni—30 Agustus 1988 dengan tema Deconstructivist Architecture yang diorganisir oleh Philip Johnson dan Mark Wigley.

Selain itu, juga terdapat 7 arsitek lainnya, seperti Peter Eisenman, Bernard Tschumi, Daneil Libeskind, Frank Gehry, Zaha Hadid, Rem Koolhaas, dan Coop Himmelblau.

Mereka menampilkan karya-karyanya, yang semuanya bergaya dekonstruksi.

Sejak saat itu, arsitektur dekonstruksi berkembang cukup pesat.

Arsitektur ini banyak diadopsi di Amerika dan negara-negara Eropa.

Tak heran, bangunan bergaya dekonstruksi banyak dijumpai di kedua benua ini.

Prinsip Dasar Dalam Dekonstruksi

Selain menghasilkan bentuk desain bangunan yang unik, arsitektur dekonstruksi juga menelurkan beberapa prinsip dasar mengenai arsitektur.

Tidak ada yang absolut dalam arsitektur, sehingga tidak ada satu langgam yang dianggap terbaik.

Semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.

Baca Juga: Presiden Jokowi Disuntik Vaksin Sinovac Rabu Besok, Disiarkan Secara Langsung

Baca Juga: Sempat Alami Hidup Susah Bahkan Tak Bisa Bayar Sekolah, Atta Halilintar Kini Buktikan dapat Hidup Enak bahkan Miliki Penghasilan Rp 8 Miliar, Begini Isi Rumah Gedongnya

Tidak ada ”pendewaan” tokoh dalam arsitektur, sehingga tidak timbul kecenderungan pengulangan ciri antara arsitek satu dan yang lain hanya karena arsitek yang satu dianggap ”dewa” yang karyanya harus ditiru.

Dominasi pandangan dan nilai absolut dalam arsitektur harus diakhiri, sehingga perkembangan arsitektur selanjutnya harus mengarah kepada keragaman pandangan dan tata nilai.

Pengutamaan indera penglihatan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu karya dalam arsitektur harus diakhiri.

Potensi indera lain harus dapat dimanfaatkan pula secara seimbang.

#Berbagiidea #Berbagicerita #Bisadarirumah #Gridnetwork

(*)

Editor : Maulina Kadiranti

Baca Lainnya

Latest