IDEAonline-Pada Selasa siang itu, 19 Mei 1998, Presiden Soeharto memanggil sejumlah tokoh, dari ulama, pimpinan organisasi kemasyarakatan, hingga budayawan.
Mereka yang hadir di antaranya adalah Malik Fadjar yang mewakil PP Muhammadiyah, Abdurrahman Wahid dari Nahdlatul Ulama, cendekiawan Nurcholis Madjid, hingga Emha Ainun Nadjib.
Kepada para tokoh bangsa itu, Soeharto membahas soal desakan mundur yang disampaikan para mahasiswa, yang saat itu sudah menguasai gedung MPR/DPR di Senayan.
Soeharto menyatakan, mundur atau tidaknya ia sebagai Presiden tidak menjadi masalah.
"Yang perlu kita perhatikan, apakah dengan kemunduran saya itu keadaan ini akan segera bisa diatasi," ujar Soeharto dalam keterangan persnya, dikutip dari dokumentasi Kompas yang terbit Rabu 20 Mei 1998.
Dalam kesempatan yang sama, Soeharto mengumumkan akan melaksanakan pemilihan umum (pemilu) secepatnya berdasarkan undang-undang pemilu yang baru.
Ia bahkan menegaskan, tak bersedia lagi dicalonkan sebagai presiden.
Ketika itu, Soeharto baru beberapa bulan dilantik MPR sebagai pemegang mandat.
Sebuah mandat yang diembannya lebih dari 3 dasawarsa.