Beberapa di antaranya, seperti tupai dan rusa, sebenarnya tahan terhadap infeksi.
Sementara, seperti tikus, sangat rentan.
Akibat efek dilusi (dilution effect), hanya sedikit kutu yang terinfeksi di hutan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Sebaliknya, di tempat yang rendah keanekaragaman hayati, hutan kecil dengan sedikit pemangsa, jumlah tikus bisa meningkat, yang meningkatkan frekuensi infeksi kutu dan risiko bagi manusia.
Di AS bagian timur laut dan Eropa, sejarah siklus deforestasi, reforestasi, dan fragmentasi kawasan berhutan telah mendorong perkembangan penyakit.
Contoh paling baru adalah pemanasan global.
Kini kita tahu bahwa pemanasan global adalah pemicu berbagai penyakit yang ditularkan melalui vektor di Eropa dan akan berlangsung hingga beberapa dekade.
Kita tahu, misalnya, bahwa nyamuk macan asal Asia dan lalat pasir dari lembah Mediterania dan Afrika Utara kini telah berkembang di Eropa selatan.
Nyamuk macan (Aedes albopictus), adalah vektor untuk penyakit seperti Zika, demam berdarah, dan chikungunya, atau lalat pasir (phlebotominae) yang membawa leishmaniasis.
Pengelolaan bergantung pada konteks sosial Untuk bisa mengelola epidemi, penting untuk mempertimbangkan keadaan sosio-ekonomi, politik, agama dan budaya suatu negara. Dukungan dari masyarakat untuk strategi kesehatan publik juga penting.
Singkatnya, strategi komunikasi dan edukasi harus beradaptasi dengan konteks sosial.
Sebagai contoh adalah brucellosis, yaitu penyakit ini disebabkan oleh bakteri Brucella, beberapa spesies secara kronis menginfeksi ruminansia (mamalia pemamah biak) setempat.