Dalam penghitungan emisi, dua parameter penting tercakup di dalamnya, yaitu data aktivitas atau potensi luas arealnya dan faktor emisi atau flux.
“Dua parameter ini yang menentukan seberapa besar serapan karbon jika program restorasi atau rewetting dilakukan atau berapa emisi yang dirilis ke atmosfer ketika suatu areal hutan mengalami perubahan tutupan lahan atau terjadinya kebakaran,” ujar Forest Carbon and Climate Specialist Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Nisa Novita seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (20/4/2021).
Gambut sebagai salah satu prioritas Indonesia Indonesia sendiri memiliki lahan gambut seluas 15 juta hektare.
Dengan lahan seluas itu, simpanan karbon lahan gambut Indonesia setara dengan 84 persen karbon gambut di seluruh Asia Tenggara.
Kendati demikian, tingginya tingkat konversi lahan gambut mengubah potensi gambut sebagai penyerap karbon menjadi pelebas karbon.
Lahan gambut di Indonesia kerap digunakan untuk berbagai kegiatan perkebunan dan hutan tanaman industri, seperti sawit, akasia, atau karet.
Saat hendak dialih fungsi, lahan gambut perlu dikeringkan.
Hal ini menimbulkan bahaya.
Sebab, lahan gambut yang dikeringkan akan membuatnya mudah terbakar dan melepaskan karbon secara terus-menerus sehingga meningkatkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Dalam berbagai kasus, nyatanya manusia justru mengubah gambut yang berfungsi sebagai penyerap karbon menjadi pelepas karbon.
Baca Juga: Green Building Solusi Cerdas Ciptakan Rumah Sehat, Ini 8 Aplikasinya