"Banyak manusia kehilangan nyawa dan ekonomi kita pun amat terpengaruh. Kita pasti ingin lingkungan lebih baik, tapi juga ingin beraktivitas dengan normal.
Butuh supporting policy untuk mengatasi masalah iklim, bukan karena wabah yang mengorbankan nyawa manusia dan disertai dengan krisis ekonomi," paparnya.
Tyas menambahkan, situasi yang terjadi saat ini mungkin bisa dijadikan pelajaran.
Bahwasanya, jika kita mampu menjaga Bumi dan tidak serakah, maka alam pun akan memberikan hasil yang baik, seperti udara segar misalnya.
Kondisi Bumi yang sedang memulihkan dirinya sendiri ini, menurut Tyas, bisa menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk melakukan restart button.
"Kita bisa mulai menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. Saat ini, ketika banyak melakukan aktivitas di rumah, maka bisa dimanfaatkan untuk belajar memilah sampah sendiri di rumah dan membuat kompos.
Mungkin saja, setelah pandemi berakhir, muncul kesadaran pada setiap individu untuk lebih menjaga alam," paparnya.
Meski begitu, tak dapat dipungkiri, ada ketakutan mengenai kondisi Bumi yang akan kembali seperti sebelum wabah terjadi. Pasalnya, kegiatan produksi bisa jadi meningkat berkali-kali lipat untuk mengejar ketertinggalan.
Oleh sebab itu, Tyas berharap, perubahan gaya hidup ini tidak hanya melibatkan individu saja, tapi juga kepedulian dari pemerintah dan industri. "Aku ingin proses produksi yang berjalan, selaras dengan alam sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Jangan lagi kembali ke aktivitas-aktivitas yang menyebabkan kerusakan dan polusi," paparnya.
Pada akhirnya, Tyasmengajak semua orang untuk bersama-sama merefleksi diri di situasi seperti ini dan memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu sesama dan menjaga kelestarian alam setelah wabah ini berakhir.
Artikel ini pernah tayang dinationalgeographic.grid.id dengan judulKondisi Bumi Membaik Selama Pandemi COVID-19, Bolehkah Kita Tenang?